Perjalanan Masih Panjang (Part 2)





"Kamu dari mana, Nak?" Sapa ibu ketika melihatku masuk ke dalam rumah. Ibu sedang melipat baju yang akan disetrikanya, bagi ibu malam hari adalah waktu untuk bebenah dirumah. Karena di siang hari ibu kerap pergi ke ladang mengantarkan ransum untuk bapak dan diriku, terkadang ibu juga membantu kami di sana.

"Cari angin, Bu. Di rumah terus panas aku," jawabku sambil melepas jaket yang kukenakan.

Ibu menghela nafas, tangan kanannya menempuk kursi rotan di sampingnya, memintaku untuk duduk.

"Sudah toh, kesalnya. Jangan suka diambil hati omongan Masmu itu, sebenarnya dia sayang sama kamu. Tapi susah ngungkapinnya." 

Ibu selalu seperti ini, menenangkan diriku, meski aku tidak memintanya. Ibu seakan tahu apa yang kurasakan selama ini. 

"Gak usah mikir keras, nanti kamu cepat tua kayak Ibu dan Bapak lho," Ibu tertawa kecil, jemari tangannya mengusap pelan punggungku. "Besok Ibu bikinin gudeg yo, biar kesalmu itu terlampiaskan."

Tak hanya ibu yang tertawa, aku juga ikut tertawa karena ucapannya. Tapi tawa kami terhenti ketika Daren keluar dari kamarnya. "Bu ... Ibu, Deni itu sudah besar gak usah dimanja-manja. Nanti malah tambah keras kepala." Ujarnya sambil lalu menuju dapur.

Usapan ibu semakin kencang di punggungku, mungkin supaya aku tetap tenang tidak terpancing.

"Ya Bu, Deni gak apa. Deni pamit istirahat saja." ucapku meyakinkan ibu.

"Kamu kan belum makan malam, Nak."

Iya memang aku belum makan malam, tadi sore hanya minum kopi dan makan tiwul buatan ibu. Tapi mengetahui Daren sedang makan juga, aku urung. Lebih baik menghindarinya, dari pada memancing singa marah lagi. Kukecup kening ibu, dan meninggalkannya kembali melipat baju. 

Di kamar, aku tidak bisa memejamkan mata. Tubuhku lelah, tapi pikiranku terus melayang. Mungkin aku harus pergi dari rumah, mencari kerja di kota lain. Semakin lama tak kurasa, aku mulai lelah dan memejamkan mata. 



#30DWCJilid13
#30DWC
#Day 4


*kredit foto : google





Comments