Tidak hanya bapak, ibu pun terlihat kecewa akan putusanku untuk meninggalkan rumah dan mencari kerja di kota lain. "Ya Gusti, coba kamu pikirkan dulu masak-masak. Kamu nanti tinggal di mana, gimana kamu makannya, lha wong kerjaan aja belum ada?" Ungkap ibu sambil mendekap tubuhku, ada getir kepedihan tersirat dalam suara Ibu.
"Sudah Bu, ada teman kuliah Deni yang akan bantu di sana. Insya Allah Bu, semoga ini jalan untuk Deni bisa bahagiakan Bapak sama Ibu." Jawabku mengelus tangan ibu yang mulai tergerus oleh keriput.
"Siapa yang bilang Ibu gak bahagia, Nak. Kamu jauh malah bikin Ibu sedih."
"Bu ... Sudahlah, Deni sudah dewasa bisa menentukan nasibnya sendiri," ucap bapak menenangkan ibu, "Bapak setuju denganmu kali ini, Den. Berangkatlah, Bapak merestuimu. Jangan lupa sholatnya dijaga, sering-sering pulang nengokin Ibumu ini."
Aku mengangguk, sedih dan juga terharu. Aku tahu bapak juga sebenarnya berat untuk melepasku. Kubalas dekapan ibu semakin erat, ibu malah bertambah larut dalam kesedihannya. Kubisikan kalimat untuk menenangkannya, "Jangan sedih Bu, kalau Deni pulang nanti Ibu harus bikinin gudeg terenak ya. Aku sayang Ibu selalu."
Sudah sebulan aku tinggal di rumah Agus di kawasan Jakarta, dan juga mendapat pekerjaan yang lumayan pendapatannya. Ini semua berkat bantuan dari Agus. Aku berencana untuk pindah kos sebenarnya bulan depan, tapi Agus bilang sebaiknya nanti saja. Dia menyarankan sebagian dari pendapatanku untuk dikirimkan ke ibu di kampung. Ya, Agus setidaknya tahu jelas bagaimana permasalahan diriku.
Masuk bulan ketiga, aku pulang untuk melepas rinduku dengan bapak, ibu, dan Dira. Kubelikan ibu gawai supaya dapat berkomunikasi denganku, bapak kubelikan Al-qur'an yang lebih besar untuk lebih jelas dibacanya olehnya dan juga memeriksakan dirinya yang sedang sakit. Bapak mulai jarang ke ladang lagi karena sering sakit-sakitan kata Ibu.
Yang aku heran adalah ke mana Daren, apa dirinya tidak melihat bapak yang sakit dan membawanya ke dokter. Ibu bilang Daren sedang tugas ke luar kota, jadi hanya ada Dira. Dira pun sama sibuknya. Akhirnya aku melarang bapak untuk pergi ke ladang lagi, biar saja Pakde Kadirman yang mengurusnya.
"Lho, kamu kapan datang? Kok gak kabari aku dulu, kan bisa kujemput." Sapa Dira yang baru pulang dari tempat kerjanya. Aku yang sedang merebahkan tubuhku di bale bambu, sedikit kaget dengan kedatangan dirinya.
Dira duduk bergabung di bale bambu, membuatku harus menyilangkan kaki supaya dirinya dapat tempat. "Sejak kamu pergi, Bapak sering sakit-sakitan. Darendra malah nyalahin kamu yang pergi, katanya Bapak sakit karena kepergianmu." Dira mengacak-acak rambutnya terlihat frustasi.
Aku tahu sikap Dira kalau sedang kesal dengan Daren, dirinya akan mengucap nama Daren dengan lengkap. Tidak bisa aku memahami apa yang diinginkan oleh Daren kepadaku, kenapa selalu aku yang selalu di salahkannya. Apa aku punya salah besar dengannya di masa kecil? Sebegitu bencinya Daren kepadaku.
"Sudah ah, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng ya, sambil cerita Jakarta tuh seperti apa," ujarnya seraya menepuk kakiku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Aku hanya dapat izin dua hari dari kantor, besok harus balik lagi ke Jakarta. Kupikir kepergianku akan membuat Daren diam, tapi Daren membuatnya semakin rumit. Aku menghela nafas, menikmati alunan burung tekukur, peliharaan Bapak.
#30DWCJILID13
#30DWC
#SQUAD 7
#Day 6
#Day 6
*kredit foto : google
Comments
Post a Comment