Ibu dengan terbata-bata dalam isaknya menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi padaku sepuluh tahun yang lalu, dan juga gadis yang bernama Rara. Aku hanya mengingat kalau diriku pernah kecelakaan, namun perihal Rara adalah kekasih Daren, sungguh aku merasa tidak bisa mengingat satu hal pun tentang itu.
Jadi hal ini yang membuat Daren begitu membenciku, karena aku membuat Rara meninggal dunia. Kutopang kepalaku yang terasa sakit sekali, ya setiap aku harus berpikir keras, rasa sakit yang akan selalu menyerang.
"Den, sudah jangan seperti ini. Itu semua terjadi bukan karena salahmu, seharusnya Daren juga tidak menyuruhmu untuk mengantarkan Rara pulang, karena kamu belum mahir mengendarai motor," keluh ibu seraya menggengam tanganku.
"Mimpi buruk yang selalu datang adalah potongan gambar Deni yang tergeletak di atas aspal, dengan seorang gadis yang sudah bersimbah darah. Tapi Deni selalu kesulitan untuk dapat mengingat jelas kejadian sebelumnya, Bu. Pantas saja, Daren selalu tidak suka denganku. Deni sudah membuat kekasihnya meninggal, Bu." Isakku.
Seharusnya siang ini aku berangkat ke Jakarta, tapi kuurungkan rencanaku. Kukabari pihak kantor dan juga kepada Agus, Agus mengerti keadaanku dan berharap dalam pekan ini aku bisa kembali ke Jakarta.
Di dalam kamar aku masih menatap nanar langit kamar yang berwarna putih kecokelatan akibat rembesan air hujan. Ibu juga memilih untuk istirahat ketimbang meneruskan memasak, bapak berusaha menenangkan ibu lagi.
Tak terasa sore menjelang, sepertinya aku ketiduran. Di luar kudengar suara ramai orang sedang bercakap-cakap, kukenali seperti suara Daren dan bapak. Aku bangun dan membuka pintu kamar, bersamaan dengan sepasang mata yang menatap kehadiranmu.
"Kau sudah bangun, Den. Duduklah, bapak ingin bicara," perintah bapak kepadaku. Dengan gontai aku berjalan menuju ruang tamu, duduk di samping bapak berhadapan dengan Daren yang masih berpakaian dinasnya. Kurasa dirinya baru saja tiba dan belum sempat mengganti pakaiannya.
"Bapak tidak ingin ada selisih paham di dalam rumah ini. Kejadian lalu seharusnya tidak untuk dipermasalahkan terus. Tidak ada yang salah dan benar di sini, jadi kalian berdamailah," pembicaraan bapak sepertinya tidak di tujukan kepadaku, namun ke Daren.
Aku masih bisa melihat kebencian penuh di matanya saat ini, seakan akulah yang memang harus disalahkan. Andai saja aku bisa mengingat detail kejadian sebelum itu, mungkin aku bisa bicara atau menyangkalnya.
"Kenapa Mas masih belum menerima kenyataan kalau ..." belum selesai aku berbicara Daren menginterupsi. "Ya aku masih belum bisa menerima kenyataan kalau akhirnya Rara benar-benar meninggalkanku. Seharusnya dia hanya marah dan tidak mati."
"Mas ..."
Baru kali ini aku melihat sisi kelemahan Daren, selama ini dia selalu bisa menutupi kelemahannya.
"Kalau saja kami tidak adu argumen dan aku bisa menahan dia untuk tidak pulang, kalau saja aku tidak menyuruhmu untuk mengantarkannya pulang, kalau saja ..." Tuturnya penuh penyesalan dan menangis.
"Tapi kau tidak berhak juga menyalahkan aku, Mas! Apa kau tidak tahu mimpi buruk itu selalu datang berulang, membuatku ketakutan. Dan juga rasa sakit yang selalu menyerang kepalaku setiap kali harus mengingat kejadian sebelumnya," ujarku.
Bapak meletakkan tangannya di atas pahaku, seakan mencoba menenangkan diriku. "Manusia merencanakan, tapi Tuhan sudah menakdirkan. TIdak sepatutnya juga kau melimpahkan kekesalanmu ke adikmu, Daren." Bapak mencoba menengahi perseteruan kami.
"Jangan biarkan rasa penyesalanmu itu menjadi bumerang bagimu, dan menyalahkan adikmu. Sudah cukup!" Bapak berdeham membersihkan tenggorokannya, "Kalian sudah cukup dewasa untuk dapat berpikiran jernih, jangan sampai masa lalu yang sudah terjadi membuat kalian terus saling membenci."
"Aku tidak pernah membencinya, Pak. Malah Mas Daren yang selalu menyinyir diriku, sekarang aku tahu kenapa sebabnya dia melakukan seperti itu." Aku menyangkal, membela diri. Karena memang aku tidak merasa melakukan kesalahan.
Aku bangkit dari kursi hendak balik ke kamar, untuk menenangkan diriku. Tapi aku merasa pusing, dan pandanganku berkunang, seiiring dengan jatuhnya diriku ke lantai. Kurasakan sakit ketika kepalaku bersentuhan dengan permukaan lantai, dan gelap seketika.
#30DWCJILID13
#30DWC
#SQUAD7
#DAY9
*kredit foto : google
Comments
Post a Comment