"Nanda ..." Kuhentikan langkahku setelah mendengar suara yang sangat familiar memanggilku.
"Oh Hai Doni," sapaku seraya melambaikan tangan ke arahnya. Doni berada di seberang taman yang kulewati, dirinya sedang duduk bergerombol di lorong depan kelasnya.
Kulanjutkan langkahku menuju kelasku IPA 3, bangkuku masih kosong. Teman sebangku Lara, sudah hampir dua hari tidak masuk sekolah, karena sakit. Sejak kami meributkan hal sepele sebenarnya, Lara tidak menyukai diriku terlalu dekat dengan Doni anak IPS 1. Menurutnya Doni itu anak brandalan, suka bolos, tidak pintar.
Terang saja aku tidak sepaham dengan apa yang dikatakannya, Doni dan aku sudah berteman sejak pertama kali masuk sekolah ini. Doni kerap membantuku saat aku tidak bisa menyelesaikan tugas yang diperintahkan kakak kelas waktu itu. Dan Doni jugalah yang menolongku saat trio cewek Sastri, Ela, dan Rani membullyku di kantin.
Kuletakkan tas dan bersiap melewati pagiku dengan mata pelajaran yang akan cukup menguras energiku, Matematika dan Kimia.
"Baiklah kalau kau tidak mau ya sudah, aku akan tetap menunggu jawabanmu," ujar Doni.
Demi apa, sepertinya aku sedang tidak bermimpi hari ini. Baru saja Doni menyatakan rasa sukanya kepadaku, dan seperti bukan Doni yang kukenal saat ini. Dirinya membawa setangkai bunga mawar dan cokelat Silverqueen kesukaanku.
Kulihat Doni celingukan seperti sedang diintai oleh seseorang, setelahnya dia hanya meletakkan mawar dan cokelat di atas mejaku. Beruntung saat ini jamnya istirahat, kelasku jadi tidak terlalu banyak orang.
Aku seperti orang bodoh saat ini, andai saja ada Lara. Jadi setidaknya aku bisa curhat kepadanya, ya meski nantinya Lara akan menceramahiku untuk tidak menerima Doni. Kusimpan mawar dan cokelat pemberian Doni ke dalam tas.
Sejak jam pelajaran setelah istirahat dimulai, aku tidak merasa fokus mengikuti pelajaran Pak Hasyim. Kerap beliau mendapati diriku yang sedang melamun. Ini semua karena Doni.
**
Jam sekolah telah selesai, akhirnya aku bisa terbebas dari penat seharian ini belum lagi ditambah dengan 'tembakan' Doni. Di lorong kelas aku merasa aneh sendiri, pasalnya semua anak-anak kelas lain menatapku dan kemudian berbicara berbisik-bisik, saat aku melewati lorong kelas.
Trio cewek Bebek, begitulah sebutanku untuk geng Sastri, Ela, Rani. Telah berdiri menghadang jalanku. "Permisi, aku mau lewat." ketusku tanpa ekspresi.
"Wow, belagu banget ya si cupu ini. Mentang-mentang sudah ditembak sama Doni." Sastri memulai percakapan dengan kedua temannya.
"Kasihan ya, padahal si cupu ini cuma dijadiin bahan taruhannya si Doni supaya dapetin uang dua ratus ribu," timpal Rani yang membuatku akhirnya menoleh ke arahnya.
"Makanya jadi cewek jangan kege-er-an, mana mau Doni sama cewek cupu kayak lu," ujar Ela kali ini.
Sungguh, aku hanya ingin pulang saja. Tidak mau mendengarkan mereka semua, apalagi jika memang yang mereka katakan itu benar adanya. Tak kurasa rinai air mata jatuh di pipi. Aku berlari melewati mereka, bahkan masih kudengar mereka terus mengolok-olok diriku.
Hingga aku menabrak seseorang di depan gerbang sekolah. "Nanda?" Suara itu lagi. Aku tak peduli dengannya, aku terus berlari. Ya aku memang mengakui aku suka juga padanya, tapi bila benar apa yang dikatakan trio itu, bahwa dirinya melakukan hal tadi demi uang. Aku membencinya, aku sungguh membencinya.
Kuhentikan metro mini dan bergegas menaikinya, setelah dapat tempat duduk, aku mencoba menenangi diriku. Menatap ke luar jendela, memandangi langit yang sepertinya akan membasahi bumi. Dan aku seperti merelakannya, saat nanti air hujan membasahi tubuhku.
Tak lama, halte tempat tujuan akhirku tiba. Sedikit melompat dan berlari kecil, mencari cela di antara tumpukan manusia yang berlindung dari derasnya air hujan.
"Nanda, sini. Sebelah sini masih kosong!" Sontak saja aku kaget, sejak kapan dia sudah ada di halte?
"Cepat sini, bajumu mulai lepek terkena hujan," perintahnya lagi, dan ya aku menurutinya. Tempat yang ditawarkannya tidak sepenuh yang ada di hadapanku sekarang.
"Kamu kenapa lari tadi? Kan aku nungguin kamu," bisiknya ke telingaku. Suara hujan yang turun memang agak deras, dan membuatnya harus berbisik saat bicara kepadaku.
Aku hanya diam saja, andai saja aku bisa menjelaskan apa yang telah dikatakan trio itu tentang dirinya.
"Aku serius, Nanda. Aku harus melakukan itu sebelum Radit yang akan 'menembak' kamu," kali ini dirinya tidak lagi berbisik, "aku sudah mulai menyukaimu sejak lama, tapi aku belum berani, aku merasa diriku tidak pantas denganmu. Kamu pintar, kamu gak seperti Sastri, Ela, dan Rani yang suka gosip dan berdandan. Tapi sejak tahu kalau Radit juga diam-diam menyukaimu, aku gak suka."
"Oh, begitu. Bukannya kamu sedang taruhan demi uang dua ratus ribu kalau bisa 'menembak' aku?" ujarku seraya memutar badan, hingga kini aku berhadapan jelas dengannya.
"Taruhan? Ya Tuhan, siapa yang mengatakan seperti itu?"
"Sastri, Ela dan Rani."
Doni malah tertawa terbahak-bahak, seakan yang baru kukatakan adalah sebuah lelucon konyol. Tak ayal orang-orang disekitar memandangi diriku keheranan.
Kubalikan lagi badanku menghadap ke depan, menatap setiap titik-titik hujan yang jatuh menyentuh bumi. Hingga suara itu berpamitan kepadaku, "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Maafkan aku."
**
Keesokan paginya sekolah tampak ramai tak seperti biasanya, ya aku juga datang sedikit terlambat karena efek kehujanan kemarin siang, jadi tidak tahu sedang ada hal penting apa yang terjadi.
"Nanda!"
Kulihat Lara berdiri di depan gerbang, dengan wajah sedikit sayu.
"Sudah sehat? Kok, gak kasih kabar kalau masuk hari ini?" Sapaku ke Lara.
"Kamu sudah dengar kabar?" Tanyanya pelan kepadaku.
"Kabar apa?"
"Doni meninggal dunia kemarin siang, pas di depan jalan utama. Tampaknya dia gak lihat kalau ada mobil kencang dari lawan arahnya." tutur Lara.
Doni meninggal? Kecelakaan? Lantas siapa yang aku jumpai di halte kemarin siang? Siapa yang telah berpamitan kepadaku?
Lara langsung memelukku erat, membiarkanku menangis melepaskan rasa penyesalanku.
***
#30DWCJILID13
#30DWC
#SQUAD7
#DAY17
#MAKNARASA
#MAKNARASA
Comments
Post a Comment