Jonas
berdiri di atas panggung, dengan sebuah gitar putih miliknya. Dilihatnya para
penonton sudah ramai meneriakan namanya. Jonas seorang penyanyi solo terkenal,
semua orang tahu bahwa permainan gitar dan suaranya sangat bagus.
Baru saja Jonas selesai memainkan
satu lagu favoritnya, lagu yang selalu tergiang-giang di dalam ingatannya. Dan
para penonton senang dengan pertunjukan yang Jonas tampilkan. Namanya kembali
dieluh-eluhkan oleh para penggemar setianya.
“Jonas
… Jonas … Jonas …”
Pluk,
Jonas kesakitan di kakinya. Sontak Jonas membuka matanya, dilihat Mamaknya sudah
pasang tampang paling kejam sedunia dengan sapu lidi di tangannya. Jonas yakin
sapu lidi itu yang membuatnya tadi kesakitan. Dan Jonas baru sadar kalau
teriakan para penggemarnya hanyalah mimpi disiang bolong.
“JONAS MAMAK SUDAH TERIAK-TERIAK
DARI LUAR, KAMU MASIH SAJA TIDUR! BANGUNLAH KAU, SEKARANG GILIRANMU JAGA TOKO
DI DEPAN, MAMAK MAU ISTIRAHAT. JONAS!
SUDAH SADARKAH DIRIMU, NAK! ATAU SAPU LIDI MAMAK INI PERLU BICARA LAGI SAMA KAKIMU
ITU?”
Jonas langsung bangkit dan
menghindar seribu langkah dari mamaknya dan sapu yang ada di tangannya. “Sudah, mak.
Sudah. Jonas sudah bangun. Tuh lihatkan, Jonas sudah berdiri.” Jawabnya sambil
meringis. Mamaknya hanya mengangguk kemudian keluar dari kamarnya.
Jonas menghela nafas lega. “Sinting!
Kukira tadi itu beneran, nyatanya hanya mimpi lagi.”
Jonas adalah anak lelaki
satu-satunya dari Mamak Sonya Tarigan, sang bapak entah kemana. Kalau menurut
penuturan mamaknya, bapaknya itu pergi meninggalkan dirinya sewaktu mengandung
Jonas. Sejak saat itu tidak ada kabar berita tentang bapaknya, apa masih hidup
atau sudah tiada. Oleh karena itu, mamaknya membuka usaha warung kecil dari
uang jual tanah, untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua. Meski
kadang keluarga dari pihak bapak sering datang berkunjung membantu.
Hingga sekarang berusia 20 tahun,
Jonas dan mamaknya masih dapat bertahan hidup dari usaha warung yang semakin
besar. Dibantu dua orang sebagai karyawan di warung, kehidupan Jonas dan mamaknya
lebih baik.
Jonas senang bermain alat musik,
terutama gitar. Tapi, mamak tidak setuju kalau Jonas menjadi pemusik seperti bapaknya.
Mamaknya tidak ingin kehilangan lelaki lagi dalam hidupnya. Oleh karena itu,
mamaknya melarang Jonas bermain alat musik di rumah. Hanya bernyanyi atau bersenandung pun,
mamaknya akan marah.
Jonas akhirnya mengalah, menuruti
apa kata mamaknya. Meskipun dirinya masih diam-diam mendengarkan musik. Selagi
tidak terdengar oleh mamaknya, kondisi akan aman.
“Bang, sepi ini warung. Kau putarlah
musik!” ujar Togar, yang membantunya di warung kelontong.
“Waduh! abang ini tak tahu ya kalau
kedengaran mamakku bisa habis dirimu dicincang olehnya. Jangankan menyetel
lagu, bersenandung pun dilarang olehnya.” Jawab Jonas sambil menginventaris barang-barang
warung.
“Payah mamakmu itu!” celetuk Bonar
kali ini.
Jonas hanya mengangkat sedikit
kepalanya dari balik meja, sedikit melototkan matanya. Togar dan Bonar langsung
paham, mereka kembali menyibukkan diri.
Jonas juga tidak tahu kenapa mamaknya
bisa sebegitu bencinya dengan musik, padahal Jonas pernah mendengar mamaknya sendiri
sedang bersenandung lagu yang sama, seperti yang sering tergiang-giang
di telinganya. Tapi, Jonas sungkan bertanya. Jonas takut mamaknya murka. Kalau
sudah murka Jonas hanya bisa makan di warung makan selama tiga hari.
Seperti kejadian ketika dirinya
masih duduk di sekolah menengah pertama, teman sepermainannya, Parjo datang
berkunjung. Mereka padahal sudah sangat pelan menyetel kaset di dalam kamar,
tapi masih saja terdengar keluar. Hingga mamaknya marah, dan menghancurkan
kaset milik Parjo. Sejak saat itu juga pertemanan Jonas dengan Parjo berakhir
tragis.
“Jonas! Sudah berkali-kali mamak
bilang. Kalau kerja jangan bengong melulu. Tampangmu itu seperti kambing
congeng, tahu kan? Jelek, mamak gak suka!”
Duh, kalau mamaknya sudah teriak
begini, jangankan Jonas, dua karyawannya juga pura-pura sibuk kerja lagi. Takut
disemprot mamak.
*bersambung*
Comments
Post a Comment