Mamak
Sonya curiga melihat gelagat Jonas yang tidak seperti biasanya. Sebuah tarikan
garis bibir ke atas selalu saja berhias di wajah anak lelaki satu-satunya itu. Apa
anaknya memenangkan lotere di kampung sebelah, atau habis minum. Pikiran jelek
terus saja menghantui Mamak Sonya.
“Hei Jonas, kulihat kau
senyum-senyum sendiri sejak pulang dari pasar tadi siang. Mabukkah kau, atau
habis menang main judi ya? Tak baik Jonas, tak baik! Mamakmu ini sudah tua,
jangan kau minta cepat Tuhan panggil mamakmu ini.”
Jonas yang sedang mengunyah makan
malamnya sedikit tersedak. Gak nyangka mamaknya punya pikiran macam itu ke
dirinya. Setelah meneguk segelas air yang diberikan mamaknya, Jonas berkata
pelan mencoba mengambil hati mamaknya. “Mamakku sayang, jauhkan pikiran jelek
itu. Mamak jadi kelihatan tua nanti.”
“Kau lupa? Mamakmu ini memang sudah
tua Jonas.”
“Tidak … tidak, mamakku ini masih
cantik, kelihatan seksi apalagi keriput di mata itu, bikin Pak Zain naksir
mamak.”
Seketika tabokan di pipi dirasakan
Jonas, rasanya pedas. Ngalahin pedasnya sambal balado buatan mamak, yang sedang
dinikmatinya.
“Aku heran semakin hari, bicaramu
semakin tidak jelas! Pasti kau punya maksud yah. Coba katakan, apa kau pakai
uang warung untuk main judi, hah?”
Jonas bangkit dari kursi, mengambil
jarak dari mamaknya. Strateginya salah, harusnya rayuan tadi berhasil, nyatanya
malah balasan di pipi yang didapatnya. “Stop mamak, jangan lukai wajah anak
lelakimu yang tampan ini. Kasihanilah, mak. Lagi Jonas gak segila itu mengambil
uang warung untuk main judi.” Sanggahnya sambil meringis kesakitan.
“Lantas apa? Kau bikin mamak jadi
curiga, Jonas.”
Jonas berpikir keras, jawaban apa
yang bisa menyelamatkan nyawanya kali ini. “Ngg, itu loh mamak. Jonas lagi
naksir sama Frida, tadi siang sempat bertegur sapa di pasar. Nanti mau Jonas ajak
jalan-jalan ke kota, boleh ya, mak.” Ucap Jonas memelas.
Mamak Sonya tertawa, memperlihatkan
gusi bagian depannya yang tak lagi bergigi. “Ya ampun, ternyata anak lakiku
sedang jatuh cinta. Boleh saja kau pergi dengan Frida, tapi jangan kau bawa
pulang larut malam. Malu nanti apa kata orang. Lagipula, apa si Frida yakin
menyukai kamu juga?”
Jonas hanya nyengir dan mengangguk,
dalam hati dirinya senang bukan main. Akhirnya bisa berlatih main gitar di
rumah Parjo. Peduli amat sama si Frida. Asal kalian tahu, Frida itu perempuan
bulat yang menyukai warna pink. Dari hiasan rambut hingga sepatu. Dan selalu mengepang
rambut panjangnya menjadi dua. Cantik? Tidak, tidak. Kalian pernah menonton
film Doraemon kan? Nah, Frida adalah gambaran dari adiknya Giant.
Sudah jam sebelas malam lewat,
sebenarnya Parjo sangat mengantuk. Apalagi yang dimainkan Jonas sejak tadi
membuatnya ingin tidur. “Jadi yang kau mainkan ini lagu siapa?” tanya Parjo
penasaran.
Jonas memetik gitar dan menyanyikan
lagu barat yang tidak familiar oleh Parjo. Ya jelas, jenis musik yang Parjo
suka itu dangdut koplo. Mana ngerti sama lagu bahas Inggris, gak selevel sama
Parjo.
“Gak tahu, lagu ini selalu tergiang-giang
di telinga sejak gue kecil. Mamak juga sering kedapatan bersenandung ini.”
Jawab Jonas dengan pandangan menerawang.
“Gue pernah denger katanya dulu
bapaklu musisi, Jon. Suatu hari pergi ke kota untuk tampil. Tapi sejak itu
malah gak kedengeran kabarnya, entahlah. Gue juga tahunya dari nyokap gue.”
Menghela nafas, Jonas menjawab pelan
seakan mengiyakan apa yang baru saja diucapkan Parjo. Seumur-umur Jonas gak
tahu bagaimana tampang bapaknya itu, apa setampan dirinya atau jauh lebih
tampan dari dirinya. Kalau memang bapaknya adalah seorang musisi, berarti tidak
salah kalau di dalam dirinya mengalir darah seni menyukai musik.
Tapi, mengapa mamaknya malah
terlihat murka jika mendengar musik? Apa karena musik itu telah membuat
mamaknya bersedih dan terluka, hingga mencoba melupakan musik dan bapaknya.
Pikiran Jonas melayang jauh, hingga
tak sadar dirinya sedang melantunkan lullaby,
“Remember me, though I have to say goodbye… remember me, don’t let me make you
cry …”
***
Comments
Post a Comment