Perasaan Bersalah

Lea berusaha mempercepat langkahnya menuju stasiun terdekat, namun sengatan matahari yang tepat di atas kepalanya membuatnya sebentar-bentar harus berhenti karena kelelahan dan kepanasan. Disekanya buliran keringat yang ada di dahinya.

Sepekan lalu dirinya menerima undangan dari panitia acara reunian SMA-nya, yang nantinya akan dihadiri oleh siswa-siswi seangkatannya. Terutama satu sosok yang selalu ia sukai. Dan itu artinya Lea harus datang, dengan tampil cantik dan memesona diantara lainnya.

Oleh karena itu siang ini Lea berencana akan mampir ke Mall yang berada di tengah kota dengan menaiki kereta dekat kampusnya. Bisa saja dirinya langsung pergi ke Mall menaiki ojek online, tapi tidak untuk saat ini. Karena Lea sudah berencana menyisihkan uang transportnya untuk dibelikan sepasang pakaian baru. Kesalahannya adalah, Lea jarang sekali berolahraga jadi berjalan saja sudah membuat dirinya kelelahan. 

“Lho Lea, lu gak masuk kelas siang ini?” teriak Naya yang dijumpainya di seberang jalan. Lea hanya mengelengkan kepalanya dan memberikan senyuman yang sedikit dipaksakan. Lea bukanlah gadis yang suka membolos mata kuliah, bukan. Justru Lea bisa dibilang seperti kutu buku berjalan, entahlah meski dirinya risih dengan panggilan itu, namun Lea malah menjadi terkenal dengan panggilan itu. 

Dan Naya adalah sosok gadis yang selalu menjadi primadona kampus, cantik tapi tidak pintar. Makanya Naya selalu mengandalkan Lea. Awalnya Lea berpikir jika Naya memang murni ingin berteman dengannya, namun nyatanya sejak ada satu mata kuliah yang hampir selalu sekelas bersama, Naya mulai memperdayainya. 

Akhirnya Lea menginjakkan kakinya di Mall besar tengah kota, sejenak Lea berkeliling masuk satu toko ke toko lainnya. Harga satu baju di Mall ini sebenarnya lumayan mahal, bahkan jika dirinya pun tetap memaksakan untuk membeli sepasang pakaian atasan dan bawahan, artinya hilanglah uang jajan selama satu bulan.

Tapi Lea rela, karena dirinya ingin tampil cantik dilihat oleh orang yang disukainya. Lea masih ingat terakhir kali mereka saling memberi kabar adalah dua bulan lalu, saat Lea berulang tahun. Sebuah blouse bermodel kamisol dengan warna biru langit dan celana berwarna satu tingkat di atasnya menjadi pilihan Lea. Sedikit ada keraguan saat Lea melihat petugas kasir menggesekan kartu debitnya dan kemudian memintanya untuk nomor pin. Sambil memejamkan kedua matanya, Lea bergumam, “aku pantas untuk mendapatkan ini.”

Tiba di kamar indekost, Lea membiarkan sepasang pakaian yang baru saja dibelinya di atas kasur. Satu tangannya mengapit gawai seraya menunggu nada sambung panggilan yang ditelponnya. “Halo Ayah, apa kabar? Lea sehat, tapi Lea butuh uang tambahan untuk praktikum pekan ini. Ayah bisa transfer uang ke rekening Lea?” 

Mata Lea tetap fokus menatap sepasang pakaian itu, sedangkan di telinganya ayah sedang berbicara panjang lebar menyarankan Lea tidak boleh sampai telat makan, sakit, membolos. Padahal dua diantara itu sudah dilakukannya. Lea hanya menjawab ‘iya’ dan anggukan, seakan-akan ayahnya dapat melihat anggukannya.

“Pakaian, aman. Uang, aman.” Gumamnya sambil memejamkan kedua matanya, rasa lelahnya seharian ini seakan terbayar sudah.

***
Hari ini adalah yang di nanti oleh Lea, acara reunian SMA-nya. Setelah meminta izin dari ayahnya untuk pergi dan sedikit drama, akhirnya Lea pasrah akan dijemput dan diantarkan ayah menuju tempat yang di maksud. Sebuah Ballroom hotel di tengah kota. 

“Pastikan ponselmu aktif, supaya ayah bisa terus menghubungimu. Ayah tahu kamu sudah dewasa tidak ingin diatur, tapi tetap saja ayah khawatir Lea. Karena ayah sayang kamu dan tidak ingin kehilangan kamu, oke. Kita sudah sepakat sebelumnya, dan tidak akan memperdebatkan hal ini lagi.” 

Lea mengangguk seraya melepas seat belt, dalam hati pun Lea mengerti sekali jika ayahnya sangat menyayanginya, selalu dan selamanya. Hanya saja keberadaan Mama Tria, mama tirinya yang setahun lalu dinikahi ayahnya, benar-benar sosok ibu tiri jahat yang hanya menginginkan harta ayahnya. Dan meskipun Lea mencoba menjelaskan hal itu ke ayahnya, yang Lea dapatkan adalah bahwa dirinyalah yang menurut sang ayah hanya ketakutan tidak akan diperhatikan dan disayangi lagi. 

Akhirnya Lea memutuskan untuk keluar dari rumah, memilih indekost. Alih-alih mengatakan supaya lebih fokus belajar dan tidak menghabiskan waktu perjalanan pulang pergi dari rumah ke kampus. Padahal dirinya keluar dari rumah karena paksaan oleh mama tirinya.

Kecupan di kening oleh ayahnya membuat Lea merasa ayah memang selalu sayang kepadanya. “Aku akan mengabari ayah nantinya, kuharap ayah dapat menepati janji.”

Setelah berpamitan dan keluar dari mobil, dengan langkah kecil Lea melangkah meniti tangga kecil menuju Ballroom tempat di selenggarakannya reuni. Sebuah spamduk mengkilat bertuliskan ‘Selamat Datang Para Alumni’ menyambut kehadirannya di atas tangga.

Riuh rendah suara musik dan para mantan siswa sekolahnya saling menyapa terdengar saat Lea memasuki ruangan. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan, berharap dapat bertemu dengan seseorang yang ia kenali.

Terlihat sang ketua Osis pada zamannya, Rendra yang hadir dengan menggandeng perempuan berkerudung dan sepertinya di perut sang perempuan sedang mengandung anaknya. Ya Rendra memang menikah diusia muda, sayangnya sewaktu Rendra menggundangnya Lea tidak bisa hadir.
“Lea? Lea si kutu buku kan? Wuah gak nyangka deh, lu kelihatan beda banget malam ini. Masih ingat gue kan Mita?” Gadis bertubuh subur dengan balutan dress berwarna merah menyala menyapanya saat Lea hendak ke meja prasmanan.

“Oh ya, Mita. Hai juga, apa kabar? Kamu juga terlihat beda kok,” tutur Lea, sedikit menaikan intonasi suaranya. Ya menurut Lea, Mita juga tampil beda malam ini dengan balutan dress merah menyala, yang sebenarnya sangat kontras dengan kulitnya.

“Sudah bertemu siapa saja? Aku baru datang jadi belum ketemu siapa-siapa nih, barengan aku aja yuk. Kamu mau ke meja prasmanan gak?” Mita bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya, sedangkan mata Lea masih mencoba mencari sosok yang dikenalinya. Hingga ia menemukannya sedang berdiri sendiri tak jauh dari meja prasmanan. Tanpa izin dari Mita, Lea berjalan meninggalkannya menuju sosok yang dikenalinya.

Pikiran Lea seakan terbang menuju masa sekolahnya, masa di mana Lea sangat menyukai pertemanan dengan Rani. Menurut Lea hanya Rani yang selalu mengerti dirinya, Rani tidak seperti teman perempuan lainnya yang hanya mendekatinya demi keuntungan sendiri. Bukan Rani, bukan seperti itu. Rani selalu ada setiap kali dirinya merasa terpuruk, kepada Rani pula Lea menceritakan apa yang selalu menganggu hati dan pikirannya. Dan Rani dengan bijak selalu memberikan semangat dan nasihat kepadanya. Hingga lama kelamaan muncul rasa itu, rasa mencintai dan menyayangi Rani.

Lea tahu ini salah, tapi ketika mencoba mengungkapkan perasaannya ke Rani, Rani pun tidak menyangkal jika dirinya pun mencintai Lea.

“Hai …” ujar Lea canggung.

“Ya ampun Lea, apa kabar? Aku kira kamu gak bakalan datang malam ini, tahu gitu kan kita bisa barengan perginya.”

“Aku baik. Lagipula aku diantar dan dijemput ayah kok nantinya, tenang saja. Kamu apa kabar?”

“Aku baik banget, oiya aku juga sebenarnya punya kabar gembira buat kamu,” ujarnya.

“Kabar gembira apa?” Belum tuntas rasa penasaran Lea, seorang pria datang menghampiri mereka yang membawa dua piring kecil berisikan kudapan manis.

“Oh, Lea kenalin ini Mario tunangan aku. Tahun depan kami akan segera menikah.”

Bagaikan petir di siang hari, Lea sedikit syok. Tak sadar jika kedua tangannya mengepal, dan bulir air matanya akan rebas. Bukan berita ini yang diharapkan oleh Lea, dan dari awal Lea juga sudah merasa salah.

Rani menatapnya dengan khawatir, "Lea, kamu kenapa? Ada yang salah?"

"Kenapa? Jelas ada yang salah, Ran. Aku mencintai dan menyayangi kamu, Ran. Kenapa kamu malah memperkenalkan Mario ke aku sebagai tunanganmu?"

Rani syok, begitu pun dengan Mario, meski Mario tidak tahu apa yang terjadi diantara Rani dan gadis yang baru dikenalkannya.

"Tunggu apa maksudnya? Dan ... Oh Tuhan." Rani berbicara dan menutup mukut dengan kedua tangannya,  baru sadar dengan apa yang dimaksud oleh Lea. "Ya Tuhan, Lea. Aku memang mencintai dan menyayangiku sebagai adikku. Tidak ada rasa lebih dari itu, aku mengerti perasaan terpurukmu dan aku selalu berada di sampingmu, untuk menguatkanmu, karena kamu masih punya aku. Sebagai sahabat dan kakak untukmu."

Belum tuntas Rani bicara, Lea bergegas meninggalkannya. Lea terus saja berlari kecil menerobos sekerumunan orang yang berdiri di hadapannya, seraya menelpon ayahnya untuk segera menjemputnya pulang.

Lea merasa semua yang telah dia perbuat dan lakukan salah. Salah karena terlalu bersemangat datang ke acara reunian ini, salah karena sudah membuang uang makannya sebulan demi sepasang baju bermerk yang ia kenakan malam ini, dan juga salah karena menyukai Rani.

***

Comments