Pandangan
Ardian kosong menatap layar komputer di hadapannya, jam sudah menunjuk angka delapan
malam lewat. Beberapa orang di ruangannya sudah berpamitan satu persatu,
padahal tidak ada pekerjaan yang menuntutnya untuk pulang malam juga. Dering
gawai menyadarkan lamunannya.
“Oh hai, maaf aku masih di ruangan.
Tunggu sebentar aku akan menemuimu di lobby.”
Ardian bergegas merapihkan meja
kerjanya dan mematikan komputer, bersiap untuk turun menemui Layla yang telah
menelponnya baru saja. Entah ini jalanan takdir atau bukan, Ardian mengenal
Layla sejak duduk di taman kanak-kanak hingga masa sekolah. Meski memilih
universitas yang berbeda, namun keduanya acap kali bertemu, sering kalinya
Ardian yang akan menjemput di kampus Layla.
Hingga Ardian yang lebih dahulu
mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan di sebuah perusahaan analis keuangan.
Rentang enam bulan kemudian Layla juga mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang
sama, hanya saja beda divisi.
Dilihatnya sosok perempuan bertubuh
semampai dengan rambut hitam bob-nya, suatu ciri khas dari Layla. Ardian mulai
menaruh hati kepada Layla sejak SMU, berbagai cara sering dia lakukan untuk
mengungkapkan perasaannya. Namun selalu diurungkannya, Ardian merasa takut jika
dia mengungkapkan hal itu membuat Layla menjauh darinya. Selama ini hubungan
dirinya dan Layla cukup baik, terutama keluarga besar keduanya pun menyangka
kalau mereka adalah pasangan.
“Hai … Apa terlalu lama menungguku?”
sapa Ardian dan menarik tubuh Layla untuk memeluknya. Sesuatu hal yang lumrah
dilakukan ketika mereka saling menyapa.
“Gak juga, tadi aku ditemani Rio
kok. Terus dia langsung pulang karena harus menjemput ibunya. Mungkin lain
waktu kita harus sering hang out
bertiga ya, supaya rame.” jawab Layla membalas pelukannya.
Keduanya pun berjalan keluar dari lobby. Perkataan Layla barusan membuat
Ardian berpikir keras, kenapa harus pula mengajak Rio. Dan siapa Rio?
“Kenapa harus mengajak Rio? Memang
kamu bosan ya hanya berduaan denganku?”
Layla malah memutar bola matanya dan
tertawa kecil. “Aku gak pernah bosan kalau bersama kamu, Di. Tapi gak masalah
juga kan kalau kita tidak harus selalu berdua, nanti yang ketiganya setan, lho.”
celetuk Layla seraya mengetukkan sepatu haknya ke lantai, hingga berbunyi
berima.
“Iya gak apa deh, yang ketiganya setankan?
Jadi Rio setannya ya.”
Layla menghentikan langkahnya yang
membuat Ardian juga begitu, mereka saling menatap kemudian tertawa
terbahak-bahak. Tidak peduli beberapa pejalan kaki menatap mereka.
*bersambung*
Comments
Post a Comment