3 Hati 1 Cinta (bagian 2)


                Sudah hampir dua pekan belakang ini, Ardian jarang bertemu dengan Layla lagi. Ya dikarenakan, tumpukan tugas deadline hingga akhir bulan yang mengharuskan Ardian lebih sering lembur. Tidak pernah terbesit firasat apapun hingga sebuah pesan dari Layla sore tadi cukup mengoyahkan perhatian Ardian dari pekerjaannya. Layla menyampaikan bahwa dirinya dan Rio sudah semakin akrab, bahkan Layla menanyakan apakah dirinya cocok bersama Rio.

            Ardian merasa bodoh, andai saja dirinya punya keberanian untuk menyampaikan perasaannya ke Layla. Ardian baru sadar bahwa kaum hawa ingin kejelasan suatu hubungan. Sering kali dirinya mendapat pertanyaan dari rekan kerja mengenai Layla, meski Ardian menjawab hanya sebagai sahabat. Para rekan kerjanya malah mengomporinya, bahwa tidak ada namanya  persahabatan di antara lelaki dan perempuan.

            “Besok aku harus bertemu Layla dan menyampaikannya.” gumam Ardian, dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

            Pagi ini Ardian tidak biasanya datang terlambat, tidak fokus untuk bekerja. Bahkan jam makan siang sebenarnya masih satu jam lagi, tapi Ardian sepertinya tidak sabar untuk menemui Layla. Meski mereka baru saja bertegur sapa via whatsapp.

            Hari ini aku traktir kamu. Kita makan siang di luar saja. Ku tunggu di lobby.

            Begitu kiranya isi pesan yang di tulis Ardian ke Layla. Selang kemudian masuk pesan balasan dari Layla.

            Layla : Wuih asik nih, lagi dapat proyek besar ya. Gak biasanya sampai dikabarin begini.

            Ardian   : Iya, dapat ikan besar :p

            Layla     : Aku ajak Rio yah, boleh?

            Ardian  : Gak! Aku maunya berdua sama kamu saja. Oke!

            Layla   : Baiklah, aku harus kabari Rio dulu. Karena biasanya dia ngajakin aku makan siang bareng. Wait for me then J

            “Jadi siang ini kita merayakan hal apa?” tanya Layla sebelum potongan dim sum masuk ke mulutnya.

            “Tidak sedang merayakan apapun.” jawab Ardian santai. Lain dengan ekspresi Layla yang terlihat kebingungan.

            “Lalu apa? Gak biasanya nih seperti ini. Cerita dong?” Layla tambah penasaran dengan sikap Ardian yang terlihat sedang menutupi sesuatu.

            “Kamu sudah berapa lama kenal Rio?”

         Layla kaget, hampir saja dirinya tersedak potongan dim sum yang sedang dikunyahnya. “Mengalihkan pertanyaanku nih? Pertanyaanku saja belum terjawab.”

            “Gak penting itu mah. Sekarang jawab saja pertanyaanku barusan, kan gak susah?”
           
          “Gak susah sih memang. Hmm, kenal Rio baru kok, kebetulan kan dia satu divisi sama aku. Anaknya baik, easy going, dan sepertinya dia naksir aku deh.”

            Ardian menarik nafas, seakan tidak kuat mendengar pernyataan dari Layla. “Lalu perasaan kamu ke aku seperti apa?”

            Layla tertawa kecil, memperlihatkan gigi kelincinya yang putih. Kalau ada pemilihan model, Ardian yakin Layla pasti menang. “Ini sebenarnya apa sih? Putar balik pertanyaan melulu deh.”

            “Aku sayang kamu, Di. Aku sudah menganggap kamu sebagai sahabat dan abang aku sendiri, kamu tahu itu kan.” jawab Layla tenang.

            Ardian melempar sumpitnya kasar setelah mendengar penjelasan Layla. “Kamu gak tahu bagaimana perasaanku ke kamu? Aku sayang kamu, Layla. Tapi bukan sebagai adik.”

            Merasa kecewa, Ardian bangkit dan meninggalkan Layla. Sedangkan Layla semakin tidak mengerti, hatinya merasa sakit mengetahui bahwa Ardian menganggapnya lebih dari seorang adik. Sejak kejadian itu, Ardian menjadi susah untuk dihubungi ataupun ditemui. Layla merasa bersalah dengan sikapnya selama ini, seharusnya dia tahu bahwa perlakuan manis Ardian adalah karena sayang bukan sebagai adik.

            Kehadiran Rio cukup terbantu melupakan sejenak kegaluan hati Layla, meski dirinya tetap harus bertemu dan berbicara dengan Ardian. Meluruskan semua persoalan yang menyangkut hati mereka.

            “Ini sudah kesekian kalinya, elu cuma bengong natapin makan siang. Ada masalah apa sih cerita dong?” tegur Rio saat mereka makan siang bersama di sebuah fast food tak jauh dari gedung perkantoran.

            “Oh .. eh, gak apa kok.”

            “Gak apa gimana? Pasti lagi ada masalah sama Ardian yah?”

            “ … “

            “Ardian siapa lu sih, kalau boleh tahu? Kalian selalu aja terlihat akrab berdua, pacar yah?”

            Menutup mata dan menghirup udara seakan memberi tenaga baru bagi Layla menceritakan apa yang ada di antara dirinya dan Ardian. Yah, dan itu ternyata cukup membantu meringankan masalahnya. Rio pun memberi masukan dengan tidak mengurui, ataupun menyalahkan mereka. Rio menyarankan Layla untuk tetap bertemu dan menyelesaikannya dengan Ardian.

            “Nah kan, wajahnya berseri, jadi kelihatan cantik lagi. Kalau begini kan aku jadi suka lihatnya.” celetuk Rio yang dibalas Layla dengan timpukan gumpalan tissue.

            “Serius, La. Aku tuh suka kamu sejak pertama lihat di ruangan. Tapi selalu aja gak ada kesempatan untuk ngobrol, karena ya itu. Ardian.”

            Layla menundukan kepalanya seraya tangan kanannya memainkan gelas. Pikirannya masih melayang, hatinya masih berkecambuk. Namun pernyataan Rio bagaikan oase di padang pasir.

            “Aku juga sebenarnya punya perasaan yang sama ke kamu, Rio. Ya, kamu benar. Tapi Ardian gak salah, aku saja yang gak peka dengan segala perhatian dia.”

            “Jadi mulai sekarang kamu harus peka sama perhatian aku ya, sayang.” Rayu Rio seraya mengedipkan mata kanannya. Layla tertawa kecil menanggapi pernyataan Rio, hatinya berbunga-bunga. Layla menjadi kekasih Rio.

            Layla dan Rio tidak sengaja berpapasan dengan Ardian di depan lobby, “Di, hai Di. Boleh bicara?”

            Ardian malah terlihat mengabaikan keberadaan Layla, ini tentu saja membuat Rio geram. Bagi Rio sikap Ardian sangat kekanak-kanakan. “Hei Bro, Layla lagi ngomong sama lu! Jangan dicuekin gitu dong.”

            Ardian berhenti dan membalikkan badan, menatap Layla kemudian Rio. “Kenapa jadi lu yang sewot! Gak ada yang perlu kita bicarin lagi pula.”

            “Ardian, kenapa sikap lu  jadi beda begini sih? Apa karena ucapan gue waktu itu. Please Di, selama ini gue beneran anggap lu sebagai sahabat dan abang gue. Gue minta maaf kalau memang gue ada salah, tapi jangan diamin gue seperti ini.” Layla mulai menumpahkan apa yang ada di benaknya seraya menangis.

            “Kelakuan lu kayak bocah, Di. Gue emang gak kenal lu dekat. Tapi dari semua cerita Layla tentang elu, gue tahu. Layla sayang lu sebagai abangnya, karena lu selalu ada buat dia. Dan lu gak bisa paksa dia untuk terima cinta lu.”

            “Lu bilang apa barusan? Sok tahu banget,“ belum selesai perkataannya, Ardian sudah hendak meninju Rio. Namun naas kepalan tinju Ardian mengenai wajah Layla, hingga perempuan itu ambruk dan tidak sadarkan diri.

           Ardian semakin panik, mencoba membangunkan Layla. Dengan sigap Rio mengendong tubuh Layla membawanya keluar menuju lobby, meminta security memesankan taksi untuknya. Beberapa karyawan pun terlihat berkerumun sekadar ingin tahu apa yang terjadi.

            Ardian menjadi bertambah bersalah, sebenarnya dia tidak bermaksud untuk mengabaikan Layla. Tapi melihat ada Rio membuatnya kembali emosi, andai saja dirinya bisa dapat meredam, pasti kejadian tadi tidak akan terjadi.


*bersambung*

Comments