3 Hati 1 Cinta (bagian 3)


           Layla baru saja siuman, dan meringis ketika mengerakan kepalanya. Aroma antiseptic dan ruangan serba putih membuatnya disorientasi sejenak.

     “Hei, jangan banyak gerak dulu. Apa masih pening?” suara Rio pelan kembali menyadarkan Layla tentang apa yang sudah terjadi. Layla memejamkan matanya dan menangis. “Hei, kan aku minta kamu gak banyak gerak dulu, bukan menangis.”

            “ … “ Layla mencoba mengangguk namun sulit. Tangannya mencoba mengenggam tangan Rio, mencari kedamaian.

            “Sssh … sudahlah, tidak ada yang perlu kau risaukan. Tapi sepertinya warna merah di wajah kananmu akan lama memudarnya. Tenang saja bagiku, kamu masih seorang Layla yang cantik kok.” Layla mencoba tertawa namun yang ada malah meringis kembali.

            “Jangan gombalin aku lagi, kepalaku masih pening.” Ujar Layla menatap Rio.

            Rio hanya membalas dengan senyuman dan sekali anggukan.
           
***

Jam jenguk pasien sebenarnya sudah lewat, namun Ardian memaksakan diri untuk dapat bertemu dengan Layla. Dirinya masih merasa bersalah dengan semua hal yang terjadi, karena kebodohannya, karena dibutakan oleh emosinya sendiri. Alih-alih menjaga perempuan yang disayanginya, dirinya malah menyakiti.

            Ketukan ketiga disambut oleh Tante Maria, ibunda Layla. “Oh Nak Ardian, silakan masuk.”

            Ardian merasa canggung di depannya, “Maafin Ardian tante, Ardian terlalu emosi. Ardian datang hanya ingin minta maaf ke Om, Tante dan Layla. Tapi kalau Layla gak berkenan, saya akan pulang.”

            “Ardian, tenang saja. Tante mengerti keadaannya, tidak ada yang perlu disalahkan, oke. Ayo ke dalam ada Rio juga.”

            Mendengar nama Rio, membuat Ardian menjadi terpancing lagi. Namun dirinya buru-buru menenangkan pikirannya, bahwa dirinya datang untuk bertemu Layla. Meminta maaf kepadanya.

            Layla sontak kaget melihat kehadiran Ardian di belakang ibunya. Ruangan terasa hening, semua saling diam. Tante Maria mengajak Rio untuk menemaninya menemui dokter jaga. Sebenarnya sih ini alasan saja supaya dapat memberi ruang dulu bagi Layla dan Ardian.

            “Hai, maaf kamu jadi harus terbaring seperti ini. Aku minta maaf Layla, tidak bisa menahan emosi tadi siang.” Ardian berkata sambil berdiri agak jauh dari tempat Layla berbaring, seakan takut kalau dirinya mendekat akan lebih menyakiti Layla.

            Layla memaksa untuk tersenyum meski kesakitan saat menarik bibirnya ke atas, “Iya aku ngerti kok, kamu marah dengan keadaan. Maafin aku juga ya, aku gak ingin hanya karena masalah ini kita jadi saling menjauh.” Layla mengangkat kedua tangannya, isyarat ingin memberikan pelukan.

            Ardian awalnya ragu, khawatir akan menyakiti kondisi Layla. Tapi melihat isyarat dari Layla kalau tidak apa, Ardian mendekat dan memeluk pelan sahabat, dan adiknya kini. “Aku sayang kamu, Dik.” Bisik Ardian pelan. Tak sadar Layla pun menangis karena bahagia mempunyai sahabat dan abang seperti Ardian.

            “Sayang abang juga.” Balas Layla.

           Dua hari bermalam sudah cukup bagi Layla di rumah sakit, meski ibunya berpendapat berbeda. Layla menyakinkan ibunya kalau luka memar akan tertutupi dengan make up nantinya, toh pening yang kemarin menyiksa sudah tidak dirasakannya kembali.

            Kepulangan Layla ke rumah juga membuat Ardian lebih lega, namun sayang dirinya tidak dapat menjemput Layla. Dikarenakan harus keluar kota mengunjungi poyek yang ditanganinya, sebenarnya bukan dirinya yang harus pergi. Tapi tepatnya Ardian yang mengajukan diri untuk dapat pergi, hitung-hitung memberi sedikit ruang bagi dirinya sendiri setelah apa yang terjadi. Dan juga menitipkan Layla kepada Rio untuk dijaganya.

*tamat*




Comments