Layla
baru saja siuman, dan meringis ketika mengerakan kepalanya. Aroma antiseptic dan ruangan serba putih
membuatnya disorientasi sejenak.
“Hei, jangan banyak gerak dulu. Apa
masih pening?” suara Rio pelan kembali menyadarkan Layla tentang apa yang sudah
terjadi. Layla memejamkan matanya dan menangis. “Hei, kan aku minta kamu gak
banyak gerak dulu, bukan menangis.”
“ … “ Layla mencoba mengangguk namun
sulit. Tangannya mencoba mengenggam tangan Rio, mencari kedamaian.
“Sssh … sudahlah, tidak ada yang
perlu kau risaukan. Tapi sepertinya warna merah di wajah kananmu akan lama
memudarnya. Tenang saja bagiku, kamu masih seorang Layla yang cantik kok.”
Layla mencoba tertawa namun yang ada malah meringis kembali.
“Jangan
gombalin aku lagi, kepalaku masih pening.” Ujar Layla menatap Rio.
Rio hanya membalas dengan senyuman
dan sekali anggukan.
***
Jam
jenguk pasien sebenarnya sudah lewat, namun Ardian memaksakan diri untuk dapat bertemu
dengan Layla. Dirinya masih merasa bersalah dengan semua hal yang terjadi,
karena kebodohannya, karena dibutakan oleh emosinya sendiri. Alih-alih menjaga
perempuan yang disayanginya, dirinya malah menyakiti.
Ketukan ketiga disambut oleh Tante
Maria, ibunda Layla. “Oh Nak Ardian, silakan masuk.”
Ardian merasa canggung di depannya,
“Maafin Ardian tante, Ardian terlalu emosi. Ardian datang hanya ingin minta
maaf ke Om, Tante dan Layla. Tapi kalau Layla gak berkenan, saya akan pulang.”
“Ardian, tenang saja. Tante mengerti
keadaannya, tidak ada yang perlu disalahkan, oke. Ayo ke dalam ada Rio juga.”
Mendengar nama Rio, membuat Ardian
menjadi terpancing lagi. Namun dirinya buru-buru menenangkan pikirannya, bahwa
dirinya datang untuk bertemu Layla. Meminta maaf kepadanya.
Layla sontak kaget melihat kehadiran
Ardian di belakang ibunya. Ruangan terasa hening, semua saling diam. Tante
Maria mengajak Rio untuk menemaninya menemui dokter jaga. Sebenarnya sih ini
alasan saja supaya dapat memberi ruang dulu bagi Layla dan Ardian.
“Hai, maaf kamu jadi harus terbaring
seperti ini. Aku minta maaf Layla, tidak bisa menahan emosi tadi siang.” Ardian
berkata sambil berdiri agak jauh dari tempat Layla berbaring, seakan takut
kalau dirinya mendekat akan lebih menyakiti Layla.
Layla memaksa untuk tersenyum meski
kesakitan saat menarik bibirnya ke atas, “Iya aku ngerti kok, kamu marah dengan
keadaan. Maafin aku juga ya, aku gak ingin hanya karena masalah ini kita jadi
saling menjauh.” Layla mengangkat kedua tangannya, isyarat ingin memberikan
pelukan.
Ardian awalnya ragu, khawatir akan
menyakiti kondisi Layla. Tapi melihat isyarat dari Layla kalau tidak apa,
Ardian mendekat dan memeluk pelan sahabat, dan adiknya kini. “Aku sayang kamu,
Dik.” Bisik Ardian pelan. Tak sadar Layla pun menangis karena bahagia mempunyai
sahabat dan abang seperti Ardian.
“Sayang abang juga.” Balas Layla.
Dua hari bermalam sudah cukup bagi
Layla di rumah sakit, meski ibunya berpendapat berbeda. Layla menyakinkan
ibunya kalau luka memar akan tertutupi dengan make up nantinya, toh
pening yang kemarin menyiksa sudah tidak dirasakannya kembali.
Kepulangan Layla ke rumah juga membuat
Ardian lebih lega, namun sayang dirinya tidak dapat menjemput Layla.
Dikarenakan harus keluar kota mengunjungi poyek yang ditanganinya, sebenarnya
bukan dirinya yang harus pergi. Tapi tepatnya Ardian yang mengajukan diri untuk
dapat pergi, hitung-hitung memberi sedikit ruang bagi dirinya sendiri setelah
apa yang terjadi. Dan juga menitipkan Layla kepada Rio untuk dijaganya.
*tamat*
Comments
Post a Comment