Harapan untuk Alia dan Ali

Ali dan Alia terlahir kembar namun tidak identik, seharusnya kelahiran bayi kembar ini menjadi istimewa bagi Ima dan Bara. Nasib membuat mereka harus terpisahkan sejak masih merah dikarenakan keadaan orang tua mereka yang miskin.

Alia tetap berada dalam asuhan dan kasih sayang Ima dan Bara, sedangkan Ali diasuh oleh Rudian, sepupu jauh dari Bara yang merupakan seorang pengusaha di daerahnya. 

Rudian mengangkat Ali sebagai anak, karena istrinya telah diangkat rahimnya setelah melahirkan putra mereka yang akhirnya pun meninggalkan dunia karena sakit yang dideritanya sejak bayi.

"Ibu, mengapa aku tidak mirip dengan kalian berdua?" tanya Ali sedikit lirih disela makan malam yang sedang dikunyahnya.

"Siapa yang mengatakan itu, Nak. Kamu itu putranya Ibu Putri dan Bapak Rudian, meski kau tak mirip dengan kami. Coba kamu lihat si Upik apa ketiga anaknya ada yang serupa dengannya?" jawab Putri, ibu angkat Ali. Menganalogikan dengan ketiga anak kucing peliharaan mereka.

Ali sedikit tersenyum dan mengelengkan kepala, "Iya ya bu, ketiga anak Upik tidak serupa dengannya."

Putri dan Rudian sepakat untuk tidak menceritakan asal-usul keberadaan Ali yang sebenarnya sekarang, tapi nanti ketika Ali menjelang remaja. Hati Putri pun merasa sedih jika nantinya Ali akan marah atau kecewa dengan keadaan yang diketahuinya. Oleh karena itu, Putri selalu dan selalu akan menganggap Ali adalah putra kandungnya sendiri.


***

Tujuh belas tahun terlewati, Ali tumbuh menjadi pemuda yang rupawan, pintar dan disegani banyak kaum hawa. Salah satunya adalah Alia. Alia pun tumbuh menjadi gadis yang cantik, setelah ayahnya meninggal dunia ketika Alia masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Jadi Alia lah yang harus bekerja menjadi tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berjualan kue setiap pagi sebelum berangkat Sekolah. Atas prestasinya yang gemilang, Alia mendapatkan beasiswa dan sekarang memasuki jenjang Strata Satu di Universitas Negeri di kota. 

Alia hanya mengenali Ali karena semua teman-teman Alia selalu membicarakannya, belum pernah Alia bertatap mata ataupun melihat langsung Ali. Hingga secara tidak sengaja mereka terjebak dalam lift yang mati tiba-tiba.

"Ya Tuhan, ini kenapa bisa gak berfungsi liftnya?" teriak Alia gusar dan panik.

"Tenang, jangan panik. Kalau kamu panik akan berefek pada kekurangan oksigen." ucap Ali asal, sekadar ingin membuat perempuan yang berada dalam satu ruang kecil ini tenang.

"Kata siapa?" teriak Alia lagi.

"Kata aku. Jadi nanti kalau kamu kehabisan napas, aku bantu napas buatan ya. Mau kan?"

Alia memutar bola matanya sedikit jengah dengan kelakuan lelaki di hadapannya. Yang membuat Ali malah tertawa terbahak-bahak. Alia jadi semakin kesal dan menyesal kenapa tidak mencoba naik lewat tangga saja.

"Gak lucu!" gerutu Alia dan menjatuhkan dirinya duduk di lantai. Sementara Ali mencoba menekan ulang berkali-kali tombol darurat. "Gak dapat sinyal lagi, apes sudah deh hari ini. Duh, emak. Maafin Alia ya, tadi pagi Alia nyomot satu kue buatan emak yang harusnya dijual di pasar."

Ali mengalihkan pandangannya dari tombol lift ke Alia yang duduk bersandar di lantai. "Nama kamu Alia?" tanya Ali dan kemudian ikut bergabung duduk di hadapan Alia. Alia hanya mengangguk sekali, matanya hanya menatap layar gawainya yang kembali meredup.

"Aku Ali. Gak nyangka nama kita bisa sama, beda satu huruf di belakangnya saja. Apa kita kembaran ya?" ujar Ali kembali asal.

Yang sontak membuat Alia memandang Ali dengan jelas dan lekat-lekat. Alia memang merasa ada sesuatu dalam diri Ali yang tampak sama dengannya, namun masih samar-samar dirasakannya.

*bersambung*

Comments