Kebahagiaan di Atas Luka

Nikolas menatap langit biru dari balik jendelanya. Hanya dengan memandanginya Nikolas merasa semua rasa marah dan penyesalan yang di dalam dadanya menguap naik ke atas langit, bergantikan dengan rasa tenang dan bahagia.

Hari kedua di bulan Desember, seharusnya semua berjalan dengan sebagaimana mestinya. Papa biasanya pulang dari kantor jam tujuh malam, satu jam sebelum makan malam dimulai. Mama pun sudah selesai memasakkan hidangan spesial, sedangkan Nikolas masih sibuk berkutat menyelesaikan buku bacaannya.

Bel pintu berbunyi, Nikolas mendengarnya tapi urung untuk membukakan pintu. Karena kalau pun itu Papa, pasti akan masuk sendiri tanpa harus membunyikan bel. Bel kembali berbunyi, satu kali. Dua kali. Tiga kali.

Nikolas menatap jam dinding yang menunjuk ke angka tujuh lewat lima belas, saat Mama turun dari tangga dan berkata, "Kau mendengarnya Niko? Apa yang membuatmu tidak bergegas membukakan pintu?"

Niko merasa ada yang janggal malam itu, tidak biasanya Papa belum pulang. Dan lagi siapa tamu yang datang pada malam hari tanpa menelpon Mama atau Papa terlebih dahulu.

"Jika itu Papa, pasti akan masuk tanpa harus membunyikan bel bukan?" gumam Niko.  Benar saja, sesuatu terjadi di saat Mama membukakan pintu rumah. Suara letusan senapan api terdengar jelas di pendengaran Niko. Panik dan ketakutan membuat Niko bergegas lari menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Suara gaduh mulai terdengar di lantai bawah, rintihan suara tangisan Mama pun terdengar jelas. Niko sudah berada di dalam kamar, bersembunyi di dalam lemari pakaiannya. Menutupi mulutnya dengan harapan suara tangisan dan ketakutannya tidak terdengar hingga keluar kamar.

Duduk sambil mengapit kedua kakinya dan membenamkan kepala di antaranya. Menunggu hingga keadaan lebih tenang. Suara langkah kaki yang menghentak kasar terdengar menaiki anak tangga, dan berteriak memanggil namanya.

Nikolas mengenali suara itu, suara khas milik lelaki yang selalu hadir dalam hidupnya. Setidaknya lelaki ini pernah menganggap dirinya ada.

"Aku tahu kau sedang bersembunyi di dalam sana! Keluarlah, agar aku dapat melihat wajah ketakutanmu saat ini."

"..."

"Mariska, malaikat pelindungmu itu sudah mati! Dan kau pun akan segera menyusulnya, Niko sayang."

Derap langkah kaki itu akhirnya berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Niko menahan napasnya, berharap pula detak jantungnya yang berdegup kencang tidak sampai terdengar ke telinga lelaki itu. Lelaki yang dulu Niko anggap sebagai seorang pahlawan dalam hidupnya.

"Keluarlah anak pengecut! Aku benci kehadiranmu sejak dulu. Seharusnya kau mati saja dan tidak membuat malu dalam kehidupanku." Lelaki itu terus saja berteriak dan menyatakan ketidaksukaannya kepada Nikolas.

Suara pintu dibuka dengan kasar hingga membentur dinding, menciptakan gema besar dalam ruang kamar Nikolas. Nikolas dapat melihat melalui celah kecil dari pintu lemari pakaiannya, lelaki itu berjalan menuju ke arah tempat dirinya sedang bersembunyi.

Nikolas menatap dengan jelas dan ketakutan, berharap sesuatu atau seseorang menolongnya saat ini juga. "Dasar anak cacat! Kehadiranmu kini akhirnya membuat kehidupan dan karirku berantakan. Aku ingin sekarang kau keluar dari persembunyianmu sekarang!"

Kemudian lelaki itu berdiri tepat di depan lemari pakaian, tempat di mana Nikolas bersembunyi. Membukanya dan menemukan Nikolas yang sedang meringkuk ketakutan di dalamnya.

Nikolas tahu hal apa yang mengubah drastis lelaki yang sedang menyeret dan membanting tubuh kecilnya ke atas ranjang. Bukan kehendaknya jika harus terlahir dengan keadaan mengidap down syndrome, jika pun dapat memilih pastinya dia akan memilih tidak dilahirkan di dunia ini.

Secepat itu pun satu sabetan dari ikat pinggang melayang ke tubuh Nikolas, dua sabetan, tiga sabetan. Panas dan perih di kulitnya dirasakan oleh Nikolas. Nikolas teringat dengan satu benda yang selalu disimpannya di bawah bantal. Pisau kecil yang biasa digunakan untuk mengupas buah. Diraihnya pelan setelah lelaki itu berhenti menyabetkan ikat pinggangnya.

Nikolas dengan perlahan mencoba membalikan tubuhnya menghadap lelaki itu. Gelombang marah, kebencian, juga rasa takutnya menyatu. Secepat gerakannya Nikolas menusukkan pisau buah itu ke perut dan menyobeknya ke samping.

Lelaki itu merintih kesakitan, "Kau tidak dapat membunuhku dengan pisau buah ini! Seharusnya kau mati dari awal, supaya tidak membuatku malu seumur hidup." racaunya.

Mata Nikolas beralih ke pistol yang tergeletak di atas ranjang tak jauh dari posisinya, dengan gerak pelan Nikolas mencoba meraih pistol itu. Setelah lelaki itu lengah dengan jatuh terduduk seraya memegangi luka di perutnya, Nikolas meledakan pistol itu membuat peluru keluar dan bersarang tepat di dadanya.


***

Nikolas menatap langit biru dari balik jendela kamarnya. Hanya dengan memandanginya, Nikolas merasa semua rassa marah dan penyesalannya menguap naik ke aras langit, bergantikan dengan rasa tenang juga bahagia. Terkadang gumpalan awan putih pun menampakkan siluet malaikat pelindungnya.

Orang yang dicintainya telah pergi meninggalkan dirinya, begitu pun dengan orang yang begitu sangat membenci dirinya. Kehidupan Nikolas tetap berlanjut meski harus menyendirii di dalam sebuah kamar yang tak begitu  besar di ujung bangsal.


*tamat*







Comments