Mario Mau Bertaubat?

Bertubuh langsing, berkulit kuning langsat, tinggi semampai, dan berparas cantik itulah Mario atau lebih dikenal dengan panggilan Maria atau Madonna. Waria yang tinggal di bedeng pinggir Kali Besar.

Bila kau seorang wanita dan tak sengaja berpapasan dengannya, mungkin kau akan merasa iri dengan kemolekan tubuh dan paras cantiknya. Dan jika kau adalah seorang lelaki, pasti dirimu akan langsung terpesona dan jatuh hati kepadanya. Namun ingat, itu hanyalah kasat mata belaka. Karena sejatinya Maria adalah Mario, dan Mario adalah Maria.

Telah bertahun-tahun Maria tinggal di pemukiman kumuh ini, meski sebagian warga tidak menyukai keberadaannya dan sering pula dicap sebagai sampah masyarakat, toh keberadaan Maria tetap saja selalu menjadi idola bagi sebagian masyarakat lainnya.

Maria aka Mario adalah seseorang yang sebenarnya santun, bersahaja, bahkan kerap membantu jika ada yang membutuhkannya. Tak segan-segan, bahkan jika ada tetangganya yang membutuhkan beras, pasti Maria akan memberikan, meski itu adalah stok terakhir yang dia miliki. Pekerjaan sehari-hari Mario ketika siang hari adalah sebagai penjaga toko handphone dan asesorisnya. Malam menjelang, Maria akan mengamen di pinggir jalan Lampu Merah.

Dua hari belakangan ini, Maria sedang gundah gulana. Pasalnya, bedeng yang dia dan beberapa teman yang tempati bersama akan digusur oleh warga. Ini dikarenakan isu yang beredar mencemarkan nama baiknya.

"Jadi kita akan pindah ke mana, Mar?" tanya Rinda yang sibuk mengoleskan losion anti nyamuk ke tangan dan kakinya. 

Pandangan Maria hanya tertuju pada jendela yang masih terbuka lebar, menampilkan keramaian kota di tengah malam. "Aku pun bingung. Kalaupun harus pulang ke kampung aku malu dengan keadaan seperti ini. Memaksakan tinggal di kerasnya kota pun aku rasa tidak akan sanggup jika pendapatan yang kudapat saja hanya untuk bisa makan sehari-hari, bagaimana aku dapat meneduh nantinya," 

Rinda, lelaki asal Timur berhenti mengoleskan losion dan menyerahkan sisa dan sachet kecil kepada Maria. "Kita bisa numpang tidur di Musholla, Pak Haji Tohir pernah berkata akan menerima kita. Jika, ..." Rinda menggantung ucapannya, sehingga Maria yang menerima sachet sisa losion anti nyamuk menatapnya hati-hati.

"Jika apa? ..."

"Hmmm, itu. Pak Haji Tohir berkata akan menerima kita, jika ..."

"Duh Cyn, please deh. Akika sebenarnya lelah malam ini, mau cepat tidur. Jadi cepat katakan jangan suka menggantung kalau sedang bicara,"

"Jika kita mau bertobat."


***

Ucapan Rinda masih saja tergiang-giang di kepalanya bagai kaset kusut. 'Bertobat', kata yang sedikit mustahil bagi seorang Mario. Mario pun sebenarnya tidak ingin terlahir seperti ini, sejak kecil dirinya memang sudah terlihat kemayu, meski menyandang nama yang sangat lelaki. 

Ibunya Suparmi tidak pernah mempermasalahkannya, toh yang penting anaknya dapat bisa bersosialisasi. Kenyataannya, teman-teman sepantaran Mario kerap mencibirnya dan membullynya sebagai bencong.

Hingga menjelang usia remaja tepat setelah kematian ibunya meninggal, Mario tinggal di asuh oleh adik ibunya Suparman. Mulai saat itulah Mario sering mendapatkan pelecehan seksual dari pamannya. Jika Mario menolak melayaninya Pamannya tak akan ada belas kasihan untuk terus menyiksanya.

Mario hanya bertahan hidup enam bulan di rumah Pamannya, karena Pamannya menjual dirinya ke seorang mucikari. Kehidupannya pun tak pernah selalu berpihak kepadanya, akhirnya dengan bantuan Rinda yang sesamanya di mess si mucikari, mereka kabur dan berhasil tinggal jauh dari kota kecil itu.

Di sinilah dirinya sekarang di bedeng pinggir Kali Besar, hidup tanpa sanak saudara dan keluarga. Berusaha untuk menghidupi diri sendiri.

Almarhum ibunya pernah berkata sebelum sakit mengerogoti tubuhnya, "Kamu anak yang baik, Ibu percaya menjadi apapun pilihanmu adalah yang terbaik untukmu. Karena kaulah yang menjalaninya bukan orang lain."


***

Sore ini Maria tampil rapi, kemeja putih dan celana panjang hitam menjadi pilihannya. Dengan langkah mantab, Maria berjalan menuju satu rumah di dalam pemukiman. Sebelumnya Siang tadi dirinya menyempatkan diri untuk memangkas habis rambut panjangnya. 

Orang-orang kampung yang melihatnya seakan ragu untuk menyapanya, mereka lebih memilih membulatkan mulut ketimbang menyapanya.

Setibanya di tempat tujuan, Maria mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tok ... tok ... tok.

Pintu terbuka, Maria disambut seorang lelaki tua bertubuh gembul mengenakan baju koko dan bersarung, lengkap dengan kopiah di atas kepalanya.

"Assalamu'alaikum, Pak Haji." sapa Maria sopan. Di belakang Maria sederet anak-anak kecil berdiri mencari tahu, mungkin saja mereka diperintah ibunya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi, supaya nanti malam ada bahan untuk digunjingkan bersama-sama.

"Wa'alaikumsalam, eh Maria? Eh Mario?" Pak Haji pun bingung harus memanggil dengan nama yang mana untuk saat ini.

"Mario, Pak Haji. Mario ada perlu sama Pak Haji, boleh bicara sebentar?"

"Oh, boleh-boleh. Silakan masuk, tumbenan dah sore begini kedatangan tamu di mari. Masuk," Pak Haji mempersilakan Mario masuk ke dalam rumah, dan mengusir anak-anak yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka. Bubarnya mereka pun di penuhi sorakan kekecewaan.

"Jadi maksud kedatangan saya ke mari bertemu dengan Pak Haji adalah ..." Mario sedikit ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Ya, untuk apa, Maria? Eh, Mario?"

"Saya mau bertaubat, Pak Haji."

"Mario mau bertaubat?" ulang Pak Haji dengan kembali bertanya. Yang akhirnya diikuti oleh sebagian anak-anak kecil yang masih menguping. "Mario mau bertaubat, Mario mau bertaubat."

Santer sejak kejadian sore itu di rumah Pak Haji Tohir, Mario bertaubat. Bukan lagi menjadi Maria ataupun Madonna. Diikuti dengan taubatnya Rendra aka Rinda.


*Selesai*


Comments