Memendam Pilu untuk Kebahagiaan

Mati-matian aku menahan bulir air mata ini supaya tidak pecah di depan umum. Bukan karena takut terlihat oleh banyak orang, namun aku mencoba meyakini diri bahwa luka yang menggores di hati akan hilang nantinya.

Hal inilah yang kutakutkan dari awal, betapa pun diriku mengelak tetap saja cap buruk akan diriku akan bertambah di matamu dan dirinya. Meski seharusnya dia tak pantas menilaiku sebelah mata.

Bukan. Bukan berarti aku lah yang merasa benar dan kau (juga dirinya) bersalah. Biarlah Tuhan yang menilai dan menghukumku.

Sore ini bisa kusembunyikan dengan pilu, namun entah jika malam datang nantinya. Tampaknya malam adalah waktu yang sempurna bagiku meluapkan rasa pilu, sakit dan kecewaku.

Merasakan jatuh untuk kesekian kalinya, aku mulai terbiasa. Aku selalu saja merasa bodoh, berharap aku dapat menemukan kebahagiaan denganmu.

Tapi nyatanya kekecewaan dan kesedihan selalu melandaku, padahal aku sangat berharap setidaknya ada setitik harap dalam kebahagiaan untukku. Meski terkadang aku berpikir, "Apa aku layak untuk berbahagia?" 

Comments