Dalam Kenangan Sebelas Tahun

Jakarta, 18 Januari 2018

Ruth sudah bersiap untuk berangkat bersama ibu siang ini, rutinitas yang sama setiap pekan, setiap tahun dan entah sudah yang keberapa kali dirinya beserta ibu, juga beberapa orang yang berharap sama melakukan rutinitas ini. Yang pasti hari ini adalah genap kesebelas tahun mereka memulai.

"Sebaiknya kita bergegas, langit mulai gelap. Setidaknya kita sudah tiba di acara, meski hujan menguyur akhirnya." Ujar ibu seraya meletakkan secangkir kopi hitam kesukaan bapak di atas meja.

"Ruth sudah rapi, bu. Tinggal menunggu bapak saja."

"Tidak, berkali-kali kukatakan tidak. Aku tetap akan menunggu di rumah, kalau kita semua pergi, lantas siapa yang akan menyambut Rudian pulang nantinya." Sahut bapak yang berjalan pelan dengan tongkat bambu di tangan kanannya, lalu duduk dan menyesap kopi hitamnya.

Ruth tahu, dia tidak buta. Dapat dilihatnya air mata ibu yang mulai membasahi kedua pipinya. Ruth juga merasakan rasa penyesalan bapak terhadap Rudian.

Ruth merangkul ibu mengajaknya berjalan keluar rumah, "Ruth dan ibu berangkat dulu ya, Pak." Pamitnya pelan, dan entah mengapa Ruth harus memelankan suaranya. Mungkin karena dirinya pun sama-sama terluka, kehilangan sosok yang selalu menjadi panutannya, atau mungkin dirinya sedang menahan untuk tidak menangis di hadapan mereka berdua. 





Yogyakarta, Februari 1997

Disebuah rumah yang disewa oleh Rudian dan beberapa rekannya, terlihat begitu sibuk. Beberapa orang sudah duduk melingkar, mendengarkan satu orang berbicara mengenai keadaan genting di beberapa daerah. Begitupun dengan Rudian, meski dirinya yang diamanahkan menjadi ketua dalam kepenggurusan ini, namun Olan adalah orang yang paling vokal untuk menyuarakan semua yang ada dipikirannya.

"Ada 'tamu' yang akan datang. menurut sumber yang bisa dipercaya bisa datang kapan saja. Mungkin nanti sore, malam, atau malah detik ini juga," Nia, satu-satunya wanita yang berada dalam kepenggurusan ini datang tiba-tiba, dengan terenggah-enggah menyampaikan berita yang baru didapatnya.

Semua saling pandang, seraya menyimpan dan merapihkan semua buku bacaan, poster, kertas berisikan rencana-rencana orasi. Hanya dengan sekali anggukan saja dari Rudian, satu persatu keluar melalui pintu belakang yang terhubung dengan kuburan tua milik warga setempat.

Olan lah yang memilih rumah ini, karena memang rumah ini dianggap angker, tidak ada yang mau menempati rumah ini dan jarang pula warga yang melewati rumah ini. Sehingga pas untuk menjadi markas mereka sementara. Beruntung pemilik rumah pun memberikan harga sewa yang murah. Keberuntungan ini pun sepertinya tidak akan berlangsung lama, mereka sudah pindah dari satu kota ke kota lain, demi menghindari dari hal seperti ini.

"Kau sebaiknya pulang saja ke Jakarta malam ini, biar aku menggurus segala sesuatunya di sini. Toh, anak buah kita lainnya mudah diatur. Dan aku percaya Agnusius, Suryo, dan Nia bisa membantuku di sini." bisik Olan ketika menyalami Rudian.

"Tak apa, aku akan ikut kalian saja Solo." 

"Jangan! Baiknya kau pulang dulu, temui ibu dan bapakmu. Mereka pasti khawatir putranya sudah lama tidak dapat dihubungi." 

Rudian menghentikan langkahnya, bayangan tentang ibu yang pasti sudah merindukannya, Ruth adik perempuannya yang selalu ceriwis menasehatinya, dan bapak. Meski kerap beradu argumen dengannya, tetap saja Rudian selalu menghormati dan menyayanginya.

"Baiklah, aku ikut keputusanmu. Kita akan bertemu lagi di Solo." Rudian memeluk erat sahabatnya.


***

Tiba dini hari di Jakarta, membuat kerinduannya semakin tak bisa dibendung. Rudian membayangkan masakan lezat buatan ibu yang akan tersaji di meja makan, perbincangan kecil tentang apa yang sedang terjadi di antara mereka. Seperti malam-malam sebelum akhirnya Rudian memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta.

Hal yang kemudian seakan membuat jarak diantara dirinya dengan bapak. Bapak ingin dirinya tetap berkuliah di Jakarta, dekat dengan keluarga. Hal-hal kecil yang akhirnya pun selalu saja diperdebatkan, dan hanya Ruth yang dapat mendamaikan mereka berdua.

Baru saja kakinya menginjak kembali di Jakarta, seseorang menjemputnya dengan paksa. Rudian mencoba mengelak, namun sayang tubuh letihnya terlalu lemah melawan tenaga dari lelaki berperawakan preman atau intel yang selama ini dikhawatirkannya.



Jakarta, 18 Januari 2018

Hendra menatap foto Rudian dalam frame berbingkai emas, setetes air mata jatuh membasahi frame. 

"Mungkin bapak terlalu keras dalam mendidikmu, Nak. Bapak hanya ingin kau nantinya pulang menggantikanku di dalam rumah ini.

"Pulanglah, Nak. Bapak masih yakin kamu hidup di luar sana. Maafkan, bapakmu ini."

Suara pintu terbuka, angin dingin yang dibawa hujan seakan ikut masuk ke dalam ruangan.

"Aku pulang, Pak." 

"Rudi? Rudian? Kamu pulang, Nak? Kenapa baru pulang sekarang, kau tahu bapak, ibu bahkan adikmu yang cerewat itu sangat merindukanmu." seru Hendra berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang tamu, menyambut kepulangan puteranya.

"Bapak sakit, menderita kalau kamu tidak memaafkan bapak."

"Rudi sudah memaafkan bapak, kok. Rudian pulang mau bertemu dengan bapak."

"Aku? Tapi tunggu, ibu dan adikmu belum pulang. Mereka pasti akan kaget lihat kamu baru pulang sekarang. Mereka sudah merelakanmu, hanya aku yang masih percaya kalau kamu masih hidup."

"Pak, kendaraanku sudah menunggu. Bapak ikut ya, kita ngobrol lagi seperti dulu. Nanti akan kukabari ke ibu dan Ruth, kalau bapak ikut denganku."

Hendra mengangguk dan menerima uluran tangan Rudian. Anehnya, kini jalannya sudah tegap. Dirinya merasa seperti muda lagi, rasa sakit yang kerap menghinggap di punggung belakangnya menghilang. Matanya dapat melihat jelas wajah puteranya, yang kini berjalan di sampingnya. Mereka berjalan menuju kendaraan yang dimaksud Rudian.

***



sumber gambar : pinterest




Comments