Dunia yang (Ter)Sembunyi

Waktu kecil ema* selalu bercerita tentang sekelompok orang dari suku yang tinggal di pedalaman hutan, suku yang memiliki kemampuan sihir dan tak kasat mata. Mereka adalah nenek moyang dari kami, yang hingga kini tetap menjaga kami. 





Kami tinggal di Desa Gorua, Pulau Morotai. Sebagian besar penduduk di desa kami bermata pencaharian sebagai nelayan dan berkebun, seperti Tatapa, babaku. Aku berbagi tugas dengan baba*, dengan berkebun, terkadang yaya ikut pula denganku ke ladang. Meski ladang yang kami miliki tidak luas, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami berlima. Aku mempunyai satu ade perempuan yang masih kecil, seringnya ema yang akan mengasuh jika yaya* pergi ke ladang denganku.

Tapi hari ini aku harus berangkat sendiri ke kobong*, karena ade ku sedang sake*. Demam sudah tiga hari.

"Ngana* musti bakarja* di kobong sendiri hari nih, ade mu sake. Kasihan kalau yaya tinggal lagi ke kobong," kata yaya sebelum ku berangkat. 

"Tak perlu ngana tako*, tak ada setang* di utang* sana" lanjut yaya sambil tertawa mengejekku. Aku hanya membalas

Aku bukannya penakut, hanya saja cerita-cerita dari ema yang kudengar sejak kecil hingga aku remaja sekarang membuatku setidaknya 'berhati-hati' dengan hal-hal yang gaib. Beda halnya dengan yaya dan baba yang sepertinya dapat 'melihat' ataupun 'mendengar' hal yang gaib.

Kebun milik kami memang letaknya lumayan dari desa, terkadang aku dan yaya seringnya memotong jalan lewat hutan. Tapi kali ini aku agak ragu, entah kenapa. Setelah lama diam dan meyakinkan diri, aku mulai jalan melewati hutan.

Aneh, aku merasakan suasana berbeda ketika memasuki hutan, tidak seperti biasanya. Kutenangkan lagi pikiranku, sampai-sampai degub jantungku sendiri dapat kudengar dengan jelas. 

Sesuatu jatuh menimpa kepalaku dari atas pohon besar, dengan sigap kuarahkan parangku dan mengenai sesuatu itu. Dengan terenggah-enggah aku langsung menghindar dan bersembunyi dibalik batang pohon besar. Sesuatu yang telah kutebas itu mengeliat ke kanan dan ke kiri, meski pandanganku terhalang rumput, namun aku yakin itu adalah seekor ular besar. 

Setelah memastikan aman, aku keluar dari persembunyianku, mendekati yang kuyakini sebagai ular. Dan petuah ema langsung saja teringat, untuk tidak menebang pohon sembarang dan membunuh binatang yang ada di dalam hutan. 

"Aku tidak sengaja membunuh satu ekor ular besar ini, sungguh aku hanya panik." batinku menenangkan. Namun tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah dan mengantuk, hingga aku merebahkan diriku di samping ular yang terbagi dua.


***


Aku heran saat terbangun dalam suatu rumah yang belum pernah kudatangi, kutebak ini bukanlah rumah penduduk di desaku. Kakek tua yang sepertinya telah menemukanku di hutan duduk tepat di hadapanku. Wajahnya yang penuh keriput menegaskan seberapa sangat tua usianya sekarang ini, entahlah aku sedang tidak ingin menebaknya pula. 

Kuperhatikan sekeliling rumah ini, tak istimewa. Namun suasana mistis dan mencekam sangat kurasakan. Kakek tua ini tidak kulihat mulutnya bergerak, tapi suaranya terdengar jelas di telingaku. Seakan dirinya sedang berbisik denganku.

Katanya aku telah membunuh salah seorang warga dari desanya di hutan, aku membunuh tanyaku. Meski akupun tidak mengerakkan bibirku untuk bicara, aku menjawabnya. Kakek tua itu menganggukkan kepalanya dan senyuman yang menyeringai membuat diriku semakin takut.

Aku tidak tahu, aku bahkan tidak sengaja menebas ular itu, ujarku kepadanya. Ya aku ingat, yang aku tebas adalah seekor ular besar bukan manusia. Kakek tua itu mengelengkan kepalanya dan kembali memberikanku seringainya.

Sambil menanggis penuh penyesalan aku meminta maaf kepada kakek tua itu, kukatakan padanya aku ingin pulang ke desaku, aku berjanji tidak akan sembarangan membunuh binatang di dalam hutan. Aku memohon, hingga air mata membasahi kedua pipiku.

Kakeki tua itu memaafkanku dan mengatakan kalau dirinya adalah tetua dari manusia yang kutebas di dalam hutan. Lagi-lagi dirinya mengatakan jika yang kutebas itu adalah manusia, bukan ular. Akhinya ia pun memberikanku syarat  jika ingin pulang ke desaku lagi, aku harus menerima pemberian darinya buah pinang dan ikut dengannya ke pinggir pantai untuk membasuh wajahku. Aku menurut, aku mengikuti syarat yang diajukannya. Meski syarat yang diajukannya sangat janggal bagiku.

Buah pinang telah kusimpan dalam kantong celanaku, kuikuti kakek tua itu menuju pinggir pantai. Aku sempat berpikir, mungkin di sinilah ajalku. Aku mati tenggelam di pantai. Baba, yaya, ema, maafkan Opan. Kakek tua itu memintaku untuk tidak menjadi anak cengeng, dan menyuruhku untuk segera membasuh wajahku dengan air laut. Benar dugaanku, kakek tua itu malah menahan kepalaku terus di bawah air hingga aku kesulitan untuk bernapas.



***

"ARGH ..."

Aku terbangun dengan jantung berdegub kencang dan terenggah-enggah, dan segera menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Tunggu, aku baru tersadar. Kulihat sekelilingku, aku kembali berada di tengah hutan. Bukan di pinggir pantai dan tidak ada sosok kakek tua. 

Tak jauh dari tempat aku berada terlihat seperti ada seseorang sedang mengapit rokok di jarinya, namun tubuhnya tak terlihat. Sontak saja hal itu membuatku sangat takut, dengan segera kubangun dan berlari menjauh dari hutan menuju desaku, rumahku.

Sepanjang jalan berlari kuteriakan memanggil yaya dan baba, anehnya yang menyambutku malah orang-orang sedesa. Mereka heran denganku dan balik menangisi kepulanganku, lalu yaya dan baba muncul di antara mereka dan memelukku.

Yaya bilang aku sudah menghilang selama tujuh hari, dan orang-orang di desa sedang membuat acara untuk hari kematianku. Aku masih menangis ketika menjelaskan apa yang sudah terjadi kepadaku, dan menunjukkan apa yang kubawa. Anehnya buah pinang pemberian kakek tua itu berubah menjadi perak. 

Tetua desaku mengatakan bahwa sosok yang telah kutemui adalah tetua dari suku Moro yang mistis, yang keberadaannya pun tak dapat dilacak dengan mata. Ia pun mengatakan aku cukup beruntung dapat pulang kembali dengan selamat. Ya, aku mungkin beruntung. Namun tetap saja aku ketakutan, dan aku tidak ingin pergi lagi ke kobong. Lebih baik aku ikut baba mencari ikan di laut.


***



*ema =  nenek
yaya = ibu
baba = bapak
kobong = kebun
ngana = kamu
bakarja = bekerja
sake = sakit
setang = setan
utang = hutan

sumber gambar : pinterest

Comments