Ketika sedang mengandung anak
pertamanya, Martina selalu menyukai aroma kopi. Suka cita menyambut kelahiran
sang bayi, Yusup sang suami memberi nama bayi itu Black Boy. Biar keren kan
kalau kebarat-baratan nama anaknya. Maksud hati ingin menamai Hitam Manis, tapi
justru yang diingat Yusup malah Black Boy.
Black Boy menginjak usia dua tahun, Yusup mengidap TBC dan akhirnya meninggal dunia karena tidak mau berobat, hingga akhirnya Black Boy menjadi anak yatim. Tumbuh berkembang tanpa sosok seorang Ayah, Black Boy termasuk anak yang baik perangainya. Di usia remaja, masa pencarian jati diri, Black Boy berkenalan dengan Rudi yang sering mengajaknya membolos sekolah hanya untuk nongkrong di warnet, main game, nonton film yang tak layak dilihat dan juga merokok. Selepas SMU Black Boy mulai bersahabat dengan Elang anak Pak Haji Munir, pemilik depot Soto Madura. Yosi, anak Pak Leman, tukang serba bisa yang sering dipanggil oleh warga mulai dari benahin atap yang bocor, saluran air mampet, dan ketukangan yang membutuhkan jasanya. Sedangkan Rudi, sejak SD sudah tidak mempunyai orang tua.
Dan mereka sepakat membuat geng dan menamainya Geng Pengkolan, yang seringnya nongkrong di pos pengkolan Kramat Mati. Biarpun Black Boy dikenal menjadi preman yang disegani se-Kramat Mati, tapi hatinya Hello Kitty, selalu ingat dan menurut apa yang emak Martina katakan. Black Boy gak mau emaknya jadi murka dan gak bikinin nasi goreng telor mata sapi serta segelas susu setiap pagi untuknya.
“Ngopi napa ngopi, diem-diem bae?” sapa Rudi yang baru kelar narikin uang parkiran di depan mini market. Matahari baru saja tepat di atas kepala.
Black Boy menginjak usia dua tahun, Yusup mengidap TBC dan akhirnya meninggal dunia karena tidak mau berobat, hingga akhirnya Black Boy menjadi anak yatim. Tumbuh berkembang tanpa sosok seorang Ayah, Black Boy termasuk anak yang baik perangainya. Di usia remaja, masa pencarian jati diri, Black Boy berkenalan dengan Rudi yang sering mengajaknya membolos sekolah hanya untuk nongkrong di warnet, main game, nonton film yang tak layak dilihat dan juga merokok. Selepas SMU Black Boy mulai bersahabat dengan Elang anak Pak Haji Munir, pemilik depot Soto Madura. Yosi, anak Pak Leman, tukang serba bisa yang sering dipanggil oleh warga mulai dari benahin atap yang bocor, saluran air mampet, dan ketukangan yang membutuhkan jasanya. Sedangkan Rudi, sejak SD sudah tidak mempunyai orang tua.
Dan mereka sepakat membuat geng dan menamainya Geng Pengkolan, yang seringnya nongkrong di pos pengkolan Kramat Mati. Biarpun Black Boy dikenal menjadi preman yang disegani se-Kramat Mati, tapi hatinya Hello Kitty, selalu ingat dan menurut apa yang emak Martina katakan. Black Boy gak mau emaknya jadi murka dan gak bikinin nasi goreng telor mata sapi serta segelas susu setiap pagi untuknya.
“Ngopi napa ngopi, diem-diem bae?” sapa Rudi yang baru kelar narikin uang parkiran di depan mini market. Matahari baru saja tepat di atas kepala.
“Gih sana, pesenin di warung Mpo
Minah. Gue kan bos di sini, tahunya tinggal beres aja.” Jawab Boy yang rebahan dengan mata
terpejam di atas bale pos.
“Ah lu mah gak seru! Kopi sama rokok lu kan yang kemarin belum lunas di Mpo Minah.” Ujar Rudi sambil menghitung uang lembaran berwarna abu-abu dan beberapa koin gopean hasil parkiran.
“Ah lu mah gak seru! Kopi sama rokok lu kan yang kemarin belum lunas di Mpo Minah.” Ujar Rudi sambil menghitung uang lembaran berwarna abu-abu dan beberapa koin gopean hasil parkiran.
“Ya kan, lu belum setoran sama gue.
Elang sama Yosi juga. Udah sana, rayu aja Mpo Minah. Bilang hari ini dia
kelihatan cantik dengan keriputnya.”
Rudi menghela nafas, kalau sudah
begini dirinya malas berdebat sama Boy. Entah kenapa dulu dia dan kedua sahabat
lainnya mau saja mengangkat Boy jadi bos. Padahal kalau dari segi usia lebih
tua dirinya dua tahun, seharusnya dia yang menjadi bos. Tapi Rudi gak punya
karisma yang Boy miliki, meski berkulit legam manis juga nakal. Boy malah
dielu-elukan warga karena mereka masih memandang Pak Yusup yang dulu semasa
hidupnya kerap membantu pinjaman uang ke beberapa warga Kramat Mati. Jadilah
yang cocok jadi bos itu Boy.
***
Tersebar kabar sedang gencar
penjualan minuman keras oplosan di wilayah Kramat Mati, hal ini membuat resah
para warga, pak RT dan tentu saja Emak Martina. Pasalnya kabar itu membawa nama
Geng Pengkolan sebagai penjualnya. Matahari baru saja menghilang dari ujung
langit, saat Black Boy tiba di rumah kecilnya. Emak Martina tidak biasanya
masih duduk di depan teras dengan pandangan kosong, hal ini membuat Black Boy
menebak apa yang sedang dipikirkan emak tercinta.
“Mak, sudah mau maghrib kenapa masih
di luar?” tanyanya seraya mengambil tangan kanan emak Martina dan mengecupnya.
Emak Martina seakan baru tersadar
kalau daritadi pikirannya masih mengembara, hingga tidak tahu kapan putranya
datang. “Eh, kamu pulang Boy.”
“Pulanglah, Mak. Masa Boy tidurnya
di pos? Memang emak tega Boy kedinginan, terus sakit rindu kasih sayang emak.”
Goda Boy dan mengerlingkan mata kanannya. Emak tertawa geli melihat tingkah
Boy. Emak menatap wajah Boy dalam-dalam, seakan mencari kepastian dari kabar
burung yang santer dibicarakan warga Kramat Mati.
“Emak boleh tanya sesuatu?” tangan emak mengenggam erat tangan Boy seakan ingin memberi tahu kalau apapun yang kau katakan emak akan mendengarkan.
“Emak boleh tanya sesuatu?” tangan emak mengenggam erat tangan Boy seakan ingin memberi tahu kalau apapun yang kau katakan emak akan mendengarkan.
“Tanya apa, mak?”
“Kabar burung itu, apa benar kamu, Boy?”
“Kabar burung itu, apa benar kamu, Boy?”
Memejamkan matanya Boy tahu
pertanyaan ini akan diutarakan oleh emak. Karena tidak mungkin kabar itu tidak
sampai ke Emak. “Bukan, Mak. Tapi Boy lagi cari tahu biang keroknya yang
mencoreng nama Geng Pengkolan dan Boy. Emak tenang ya, jangan mikir yang
macam-macam. Nanti keriput di wajahnya bertambah jadi berkurang deh cantiknya emak.”
Emak tersenyum lega, meskipun hal
lain bisa saja terjadi. Spekulasi negatif masih saja muncul, tapi Emak berusaha
untuk mempercayai perkataan Boy.
***
“Boy, lu kok nyantai aja sih? Gak
coba cari tahu yang bikin nama lu jadi jelek. Gue denger Pak RT kemarin datang
ke rumah lu ngobrol sama emak.” celetuk Elang sambil menikmati sarapan pagi
yang kesiangan dengan pisang goreng dan ketan.
“Tapi Pak RT sepertinya sungkan nanya ke lu
langsung, takut digertak sama lu. Padahal mah, lu kan hatinya baik ya, biarpun
tampilannya sedikit bewarna.” sembur Yosi menimpal ucapan Elang sambil tertawa
keras.
“Udah! Tapi gue masih gak percaya
ditusuk dari belakang. Jadi masih harus terus diinvestigasi lebih lanjut.”
jawab Boy dengan bijak.
“Waduh, bicara lu udah komandan
Syafir aja. Kalau boleh tahu emang siapa sih?” Yosi penasaran.
“Musuh dalam selimut. Duri dalam
daging. Air susu dibalas air tuba.”singkat Boy.
Yosi dan Elang gak paham apa maksud
yang dikatakan bosnya, mereka malah mikir sejak kapan bosnya belajar
peribahasa. Bukannya selama ini bosnya lebih sering baca status mimi peri di lambe turah.
Elang hanya memberikan cengiran ke Boy.
Usaha investigasi Boy tidak sia-sia.
Berkat bantuan dari Padirman, Boy akhirnya tahu kalau selama ini sahabat yang
dikenalnya sejak masa sekolah. Yang selalu mengajak dirinya menjadi nakal,
sekarang menjadi lebih ‘nakal’. Boy tidak menyangka, sebegitu brengseknya dia
sekarang. Padirman adalah seorang pemuda yang masih berusia belasan tahun,
dirinya sangat menggagumi sosok Boy. Ya, karena almarhum Pak Yusup telah
membantu keluarganya dulu.
Padirman sempat ditawari oleh Rudi
untuk membeli minuman, yang kata Rudi bisa membuat orang bahagia, menghilangkan
kepenatan. Syukur Padirman masih tahu batas, jadi dirinya menolak. Tapi usaha
Rudi untuk mencekoki Padirman tidak sekali itu saja, namun sering. Hingga
beberapa teman Padirman tergiur untuk membelinya, mereka menegak minuman itu di
taman kosong belakang komplek. Di sana memang sepi, jarang warga yang berada di sana.
Bersama Padirman, Boy berjalan
menyusuri jalan setapak yang dapat menembus ke taman kosong. Suara orang
tertawa tak jelas dan musik keras mulai sayup-sayup terdengar, dari kejauhan
Boy dapat melihat dengan jelas ada beberapa orang yang tertidur di atas rumput,
mungkin sudah mabok. Yang masih terlihat masih sadar adalah Rudi dan empat
orang yang tidak dikenali Boy. Karena Boy mengenali semua warga Kramat Mati,
bahkan yang masih bayi pun.
“Sudah cukup kamu sampai di sini
saja, Man. Kamu tunggu saya di pos dan tolong cari Bang Yosi dan Bang Elang,
jaga-jaga jika dalam setengah jam saya tidak menemui kamu di pos. mengerti kan
maksud saya?” Boy berbicara dengan nada pelan ke Padirman, memberinya
intrusksi.
“Paham bang, saya akan cari Bang
Yosi dan Bang Elang kemudian langsung kemari.” jawab Padirman sedikit ketakutan. Takut
kalau terjadi apa-apa kepada lelaki yang sedang berbicara di hadapannya ini.
Padirman percaya, Boy bisa menjaga dirinya sendiri.
Berjalan pelan Boy melambaikan tangan kearah Rudi, dilihatnya Rudi sedikit tegang. Mungkin Rudi tidak menyangka Boy akan datang mengetahui aksinya. “Hai Rud, jadi begini kerjaan tambahan lu sekarang?”
Berjalan pelan Boy melambaikan tangan kearah Rudi, dilihatnya Rudi sedikit tegang. Mungkin Rudi tidak menyangka Boy akan datang mengetahui aksinya. “Hai Rud, jadi begini kerjaan tambahan lu sekarang?”
Empat orang yang tidak dikenal
langsung membuat barisan di samping Rudi, seakan siap menghajar Boy. Rudi
menyikut salah satu diantara empat orang tak dikenal itu dan membisikan
sesuatu. “Gak nyangka gue bakalan kedatangan bos besar disini."
“Kenalin ini Bang Gareng dan anak
buahnya Ucup, Sudira, dan Mikel.” Sambutnya dan memperkenalkan keempat orang
itu.
“Gak perlu basa-basi. Jadi apa maksud semua ini? Selama ini Kramat Mati aman, nyaman, tapi sekarang meresahkan. Dan ini jadi berkaitan dengan nama gue.”
“Gak perlu basa-basi. Jadi apa maksud semua ini? Selama ini Kramat Mati aman, nyaman, tapi sekarang meresahkan. Dan ini jadi berkaitan dengan nama gue.”
“Nah, baguskan. Lu jadi bisa menguasai
wilayah ini dan dapat uang penjualan miras yang besar, selain dari setoran uang
parkiran.”
“Beda Bro, yang lu lakuin ini
merusak.”
“Gue salah milih lu jadi bos berarti, seharusnya gue yang jadi bos. Lu preman tapi terlalu lembut, gak cocok!”
“Gue salah milih lu jadi bos berarti, seharusnya gue yang jadi bos. Lu preman tapi terlalu lembut, gak cocok!”
Boy tidak terima dengan ucapan Rudi,
baru saja akan maju menghantam Rudi, dirinya sudah di serang 3 lelaki yang
tubuhnya lebih besar dari Boy. Memukulnya secara membabi-buta, tidak henti.
Setelah merasa dirinya tidak sanggup lagi untuk bertahan, matanya melihat
kilatan menyilaukan yang dikeluarkan satu dari tiga orang yang membantainya.
Penglihatan Boy tertutup oleh darah
yang mengucur dari kepalanya, telinganya berdengung keras. Tidak dapat
mendengar seruan dari Rudi, yang ingin dilakukan Boy hanya ingin berdiri
menangkis serangan. Namun sayang, tubuhnya langsung roboh karena di hajar, dan
kilauan benda itu semakin mendekat ke arahnya. Boy hanya pasrah kalau memang
ini takdirnya untuk menghadapi kematian.
Bruk,
tubuh Rudi malah yang terjatuh di sisinya dengan pisau tertancap tepat di
dadanya. Boy panik, dia tidak mengharapkan hal ini terjadi. Rudi malah yang
menjadi tameng untuknya.
Dengan terbata Rudi berusaha bercakap, “Maafin gue salah. Seharusnya gue gak lakuin ini, uang itu bikin gue gelap mata.”
Hanya itu yang bisa diucap Rudi sebelum maut menyapanya. Boy menguncang tubuh Rudi dan menangis. Seiring dengan kedatangan polisi, warga serta Padirman, Yosi dan Elang.
Dengan terbata Rudi berusaha bercakap, “Maafin gue salah. Seharusnya gue gak lakuin ini, uang itu bikin gue gelap mata.”
Hanya itu yang bisa diucap Rudi sebelum maut menyapanya. Boy menguncang tubuh Rudi dan menangis. Seiring dengan kedatangan polisi, warga serta Padirman, Yosi dan Elang.
Setelah Rudi menjalani perawatan di rumah sakit, Boy di bawa ke kantor polisi untuk menjalani proses pemeriksaan dan menginap di hotel prodeo untuk beberapa hari di sana.
Hati orangtua mana yang tidak sedih melihat anaknya dikukung dalam sel, meski yakin Boy tidak bersalah. Tapi proses hukum harus dijalankan, dan emak Martina bersabar menunggu kepulangan anak laki semata wayangnya itu.
“Maafin Boy, mak. Boy gak bermaksud buat Emak sedih begini. Boy gak lama kok, hanya beberapa hari di sini. Emak tunggu Boy pulang di rumah, ya. Jaga kesehatan Emak, jangan lupa makan.” ucapan Boy masih tergiang di telinganya emak Martina, di hari dirinya diijinkan menjenguk putranya.
*tamat*
Comments
Post a Comment