Tak Kasat Mata Part 2


Tulisan ini adalah lanjutan dari cerita  Tak Kasat Mata Part 1



Dari halaman belakang Yoana harus melewati lorong gudang tak terpakai menuju kelasnya di lantai dua, lorong ini memang sangat sepi. Jarang yang mau melewatinya, ya karena cerita-cerita tak masuk akal, entah siapa yang telah bercerita. 

Secara tidak sengaja Yoana mendengar suara percakapan dengan nada ancaman, dan Yoana mengenali suara si pengancam, sang Kapten Basket. “Diam dan nikmati saja! Awas saja kalau kau berani melaporkanku, tidak saja reputasimu yang akan jelek, tapi kau juga akan mendapat balasannya dariku.” 

Sedikit berjalan mengendap-ngendap dan berjinjit, akhirnya Yoana dapat melihat pemandangan dari jendela dengan jelas. Si Kapten Basket sedang berbuat asusila kepada seorang gadis, sayangnya wajah gadis itu terhalangi tubuh besar si Kapten Basket. Tapi Yoana melihat dengan jelas seragam mereka sudah tertumpuk di lantai. Yoana bahkan dapat mendengar suara meringkih kesakitan gadis itu. Yoana bergidik ketakutan, merasa jijik, dan hampir saja menangis melihat kejadian yang sangat tak diduga tersebut.

Tak sengaja kaki Yoana menginjak ekor kucing, yang entah sejak kapan sudah berada di sana. Leguhan suara kucing membuat Yoana panik, dan segera berlari dari tempat itu. Hingga menabrak Manuel, ralat melewati tubuh Manuel yang melayang di udara. Yoana jatuh terduduk di pinggiran tangga, menunduk, memeluk kedua kakinya. Dan terisak.

“Hei, apa maksud kamu berlarian melewatiku seperti itu, Yoana!” Teriak Manuel. Dan kemudian sudah berada di hadapan Yoana kembali. “Kamu menangis dan ketakutan? Ada apa? Kamu seperti habis melihat hantu saja.” Kelakar Manuel yang melayang-layang di sekitar Yoana.

Kalau saja momennya bukan seperti ini, mungkin Yoana akan tertawa menanggapi pertanyaan Manuel. Tapi saat ini, dia merasa sesak di dadanya. Ya karena, pemuda idamannya telah berbuat asusila. Dan Yoana bingung, haruskah dia melapor atau diam saja. Kalaupun melapor dia tidak punya cukup bukti, yang ada nantinya malah dia akan di bully habis-habisan oleh geng pemuja si Kapten Basket. 

BEJAT. Mungkin kata itu cocok untuk Tigor. 

“Duh, kalau galau jangan begini juga kali. Kayak hidup lu sudah sekarat aja.”

“Bejat!”

“Ih, mulai ngatain gue yah. Sadis lu, mirip Afgan.”

“Bukan kamu, tapi di sana. Dia bejat!” jawab Yoana sambil menunjuk ke arah gudang. Dengan ekspresi tidak mengerti Manuel melayang menembus tembok dan secepat itu pula dia sudah tiba di hadapan Yoana.

“Gila!”

“…”

“Kenapa lu baru bilang ke gue sekarang?”

“Gue juga gak sengaja tadi dengar suara dia, terus gue intip. Ternyata,…” Jawab Yoana yang masih menundukkan kepalanya.

“Bukan itu! Maksud gue kenapa lu baru bilang sekarang, pas adegannya mau selesai. Payah lu, ah. Nontonnya sendirian aja.”

Yoana mengangkat kepala dan memutar bola matanya, merasa kesal dengan hantu di hadapannya. Sudah jadi hantu saja mengesalkan, apalagi dia semasa hidupnya. Pantas saja dia di akhiri hidupnya dengan kepala terpenggal. "Kalau mencoba menghiburku sekarang, lu hampir berhasil. Please, sekarang apa yang harus gue lakuin. Cewek itu jadi korban.”

Manuel memasang wajah mengkerut, sok mikir. Kemudian tiba-tiba menghilang dari hadapan Yoana. Baru saja Yoana akan meneriakan namanya, tiba-tiba terdengar suara teriakan mengelegar dari dalam gudang. 

“ARGH…” Diikuti suara pintu gudang yang terbuka dengan dentuman keras. Tigor terlihat keluar dengan ekspresi ketakutan sambil mengenakan celananya tergesa-gesa, berlari dengan cepat ke arah tempat Yoana sedang duduk mojok dekat tangga.

Sempat beradu tatap di antara mereka, sebelum akhirnya Tigor mengoceh tidak jelas dan jatuh terjungkal dari tangga. Dan tetap bangkit berlari ketakutan sambil lanjut berteriak, “HANTU, ADA HANTU. TOLONG!”

Yoana menarik garis bibirnya dan tertawa sejenak melihat cowok idamannya dulu, ya dulu sebelum kejadian menjijikan itu. Yoana memalingkan kepalanya melihat Manuel yang tertawa terpingkal-pingkal, hampir saja membuat kepalanya terlepas. Tapi kemudian dia teringat gadis yang di dalam, apa sebaiknya dia temui atau dia duduk saja di sini. Seakan tidak mengetahui hal yang baru saja terjadi tadi. Pikirannya masih kacau, belum dapat memutuskan. 

Suara isak tangis terdengar pelan sangat pelan. Sepertinya gadis itu menahan suara tangisnya dan mungkin juga sakit yang dialaminya. Gadis itu berjalan pelan keluar dari dalam gudang dan terseok-seok berlawanan arah dengan keberadaannya. Yoana dan Manuel saling menatap, kemudian Manuel mengangkat satu alis kirinya. Memberi isyarat ke Yoana untuk mengejar dan membantu gadis itu.

Yoana berdiri, menarik nafas dalam. Dan berjalan cepat menuju kearah gadis itu berjalan. Yoana sebenarnya merasa canggung juga, entah apa yang akan dia katakan nantinya ke gadis itu. Bertanya tentang bagaimana hal itu bisa terjadi, atau menanyakan keadaan gadis itu. Tapi Yoana takut, hal itu malah akan menyinggung perasaannya.

“Hai kamu gak apa? Apa kamu habis lihat hantu juga seperti Tigor?” Yoana memulai percakapan. Yang didapat malah balasan tatapan mata ‘jangan ikut campur urusan orang lain’, mungkin seperti itu tepatnya. Yoana tersenyum canggung, miris dalam hatinya. Tapi sepertinya gadis itu butuh ketenangan, tidak ingin bantuan dirinya. Yoana hanya dapat berdiri menatap kepergian gadis itu menuju area halaman belakang sekolah. 

“Tunggu? Halaman belakang? Kenapa dia malah ke sana, bukannya melapor ke ruang guru atau ke kelasnya lagi. Mau apa dia?” Gumam Yoana sendiri.

“Ya mau menyendiri kali, gak pengen di ganggu. Eh, tapi body tuh cewek bagus banget. Sintal, seksi…”

Belum selesai Manuel menyelesaikan ocehannya, Yoana memerintahnya. “Kamu ikutin dia dih, jangan sampai dia ngelakuin hal aneh yang bikin bertambah jumlah kalian di sini! Tapi jangan digangguin, lihatin aja. Lihatinnya juga jangan mesum! Semua laki-laki sama aja mau yang hidup atau sudah jadi hantu.” Perintah Yoana sambil mengerutu, membuat Manuel yang kini memutar bola matanya. Hanya memberi sikap hormat lagaknya bawahan ke atasan, Manuel kembali melayang mengikuti gadis itu.

***

Akibat kerusuhan yang dibuat oleh Tigor, membuat pihak sekolah akhirnya meliburkan kegiatan belajar mengajar. Bahkan saat Yoana dan seisi anak sekolahan akan pulang, terlihat beberapa orang berpakaian putih-putih bersorban masuk menuju ruang guru. Menurut kabar yang beredar, pihak sekolah memutuskan memanggil ‘orang pintar’ untuk mengusir hantu.

Yoana menarik nafas sedalam-dalamnya, pasalnya yang seharusnya di usir itu bukan para hantu, tapi manusia bejat. Pikirannya kembali menerawang ke siang tadi.

“YOANA!” Suara Pak Galih, guru agama kelas dua memanggilnya, menariknya kembali ke dunia. Jarak Yoana dan Pak Galih cukup jauh, sehingga Pak Galih terdengar berulang memanggil namanya lagi. 

“Kamu tuh, kasih isyarat kek. Lambaikan tangan gitu kalau sudah mendengar panggilan saya, jangan diam saja. Saya kan capek teriak-teriak terus, gak tahu kamu dengar saya apa gak.” 

“Iya pak, maaf. Saya panik. Bapak ada perlu apa kok manggil saya?”

“Kamu ikut saya sama bapak-bapak itu, mereka mau ngusir hantu.” Tunjuk Pak Galih ke arah lima orang berpakaian putih-putih yang sedang duduk berbincang dengan Pak Halim, Kepala Sekolah SMA Tugu Monas. Dua orang sepantar dengan Pak Galih, sisanya masih terlihat muda dan congkak.

Yoana tidak sendiri ada pasukan lengkap di belakangnya, Ucup, Noni, Suri dan Manuel. “Hoax tuh! Kalau mereka beneran pengusir hantu, kenapa mereka gak bisa ngelihat kita coba?” ujar Manuel yang sedari tadi sudah mengoceh, lainnya hanya mengangguk. 

“Kita godain aja, yang di tengah ganteng pisan euy.” Celoteh Suri, seraya tertawa cekikikan. Yoana mendengus mendengar perkataan Suri, bisa aja dia ngelihat cowok ganteng padahal rambut sudah nutupin wajahnya.

“Mari kita mulai.” Pak Galih memecah suasana riuh di dalam ruang guru, “oiya ini Yoana, dia akan membantu kita juga nantinya.” Jelas Pak Galih ke seluruh orang yang ada di ruangan.

“Berdasarkan dari penuturan Tigor, dia melihat ada sosok yang menganggu di area belakang. Tepatnya di dalam gudang…”

“Bapak gak nanya jelas ke Tigor lagi apa dia di area belakang? Sendirian atau rame-rame, bisa aja yang dibilang Tigor hoax.” Celetuk Yoana memotong ucapan Pak Galih.

Pelototan mata Pak Galih membuat Yoana memilih bungkam, daripada nanti nilai agamanya merah di rapor. Gak lucu kan kalau nilai akademiknya biru, masa non akademik harus kebakaran. Yoana meringis dan berlirih, “Maaf, pak. Gak sengaja.”

Setelah basa-basi ala Pak Galih seakan hari ini dia dan sejumlah orang berpakaian putih itu akan menjadi penyelamat di sekolah ini, dalam hal membasmi hantu.

Yaelah, tau gini mah gue mending tidur siang aja deh. Nanti malam gue kan mau patroli sama Pak Karem.” Manuel mulai bosan. Bahkan dengan sengaja melayang berputar-putar dekat salah satu orang berpakaian putih. Orang itu sesekali mengusap leher belakangnya, sepertinya mulai merasakan keberadaan Manuel.

Suri? Jangan ditanya dia sudah berdiri manis tepat di hadapan salah satu dari mereka, yang katanya dibilang paling ganteng. Yoana merasa jengah melihatnya, setidaknya Noni dan Ucup tidak seperti Manuel dan Suri. Kalau saja mereka yang katanya bisa mengusir para hantu bisa melihat keempat teman tak kasat matanya, mungkin akan terbirit-birit. Yoana tertawa kecil membayangkannya.

***

Mereka sudah berada di TKP, berdasarkan penuturan Tigor. Tigor ternyata sudah ada lebih dahulu di depan gudang, sedikit terlihat gusar. Berjalan mondar-mandir, tampang kusut, dan kacau. Yoana beradu mata dengan Tigor, namun dengan cepat Yoana memalingkan wajahnya ke Pak Galih yang sedang komat-kamit merapal doa.

“Kita berpencar saja di sini. Saya bersama Pak Daru dan Rendra. Yoana ikut sisanya. Mari kita selesaikan, supaya besok sekolah bisa berfungsi kembali tanpa kekacauan seperti ini.”

Yoana protes, sebenarnya dia gak mau ikutan hal seperti ini. Hal yang membuat dia kembali merasa jijik mengingat kejadian siang tadi, dan bukan keahliannya juga dalam mengusir hantu. “Pak, saya mau pulang aja!” Alasan Yoana.

“Loh, kamu ini gimana? Saya ikutkan kamu kesini karena kamu juga kan dapat melihat makhluk yang tak kasat mata.”

“Ya, bapak. Kata siapa saya bisa ngelihat hantu. Yang ada mereka duluan udah takut ngelihat saya.”

“Beeetuuuul….” Suara koor dari Suri, Manuel, Ucup dan Noni, membuat Yoana sedikit jengah. 

Reflek Yoana membalas koor itu, “diam kalian tuh bukannya makasih dibelain biar cepat selesai, malah ikut ngejekin!”

“Yoan, kamu bicara sama siapa?” tanya salah satu dari kelima orang yang berpakain putih.

Mengaruk kepalanya yang tidak gatal, Yoana bingung mau jawab apa. Dia lupa, hanya dirinya sendiri kan yang bisa melihat empat sekawan.

“Ng, itu pak sama mereka…” Tunjuk Yoana ke arah Manuel dan kawan-kawan, yang sedang melayang-layang di udara.

Pak Galih, Tigor dan kelima orang itu sontak langsung panik. Kelima orang itu mulai beraksi, ada yang sibuk mengeluarkan beberapa botol kaca dari tas, ada yang memutar ruangan sambil memerciki air sambil merapalkan doa-doa, sedangkan Tigor? Dengan setia dia menguntit kemanapun Pak Galih berjalan.

Yoana malah tertawa geli melihat kelakuan Pak Galih dan kelima orang itu. Suri, Manuel, Ucup dan Noni malah mengibas-ngibaskan tangan mereka tanda mulai bosan. "Aduh, Pak! Mending distopin aja deh. Mereka kayaknya hantu budek deh.” Kelakar Yoana, yang membuat dirinya mendapat lirikan tajam dari empat sekawan. “Buktinya mereka masih anteng aja nih di sini.”

Satu dari kelima orang itu malah lari keluar dari dalam gudang diikuti lainnya, yang tertua malah berkata ke Pak Galih, “Saya menyerah Pak. Saya bukan ahlinya, lebih baik kita tinggalkan saja gudang ini. Tutup rapat saja.” Dan berlari mengikuti keempat orang yang sudah lari terlebih dahulu.

Hanya tersisa Pak Galih dan Yoana di dalam ruangan gudang. Mereka lupa keberadaan Tigor. Hingga suara teriakan dan sesuatu jatuh ke bawah membuat mereka segera keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Yoana menutup mulutnya, kaget dan isteris melihat apa yang di hadapannya sekarang ini. Sementara Pak Galih berteriak mencoba menenangkan gadis yang memegang pisau di tangannya yang sudah berlumuran darah. Yoana yakin itu bukan darah gadis itu, darah itu milik Tigor. Yang kini sudah jatuh terjerembab dengan kondisi mengenaskan di lantai bawah. Sebagian siswa mengerumuni tempat kejadian Tigor terjatuh, mencoba melihat dengan jelas keadaan Tigor yang sedang menghadapi ajalnya.

Pak Galih pun masih mencoba meyakinkan gadis itu untuk membuang pisau yang ada di tangannya, namun terlambat. Gadis itu mengoceh sambil menangis, sebelum kemudian menusuk tepat ke jantungnya sendiri. “Dia telah memperkosa saya, Pak. Dia pantas mati, dan saya juga telah hina.”

Yoana merasa kakinya sangat lemas, dan jatuh tersungkur. Dirinya merasa menyesal tidak menyelamatkan gadis itu, dirinya menyesal tidak melaporkan kejadian itu. Yoana terus merutuki dirinya sendiri, sampai suara lembut menyapanya.

“TIdak perlu menyesalinya, Yoan. Aku sudah tenang sekarang, aku tahu kau sangat ingin menolongku. Terima kasih, sampai jumpa.”

Gadis itu menampakan dirinya, lebih ceria dan bersinar. Di sampingnya berdiri sosok berpakaian hitam dan bertudung, Yoana kesulitan melihat wajahnya. Tapi Yoana yakin, dia melihat sosok itu menyeringai. Kemudian mereka memudar dan menghilang.

***

Padahal sudah dua hari sejak kejadian naas itu, namun Yoana masih menggurung diri di kamarnya. Dirinya masih menyesali kejadian siang itu. Andaikan, andaikan…

Yulian, Bagaskara, dan Sophie merasa khawatir dengan keadaan Yoana. Mereka bingung, tidak tahu bagaimana bisa kejadian itu membuat adik kecil kesayangannya menjadi sangat terpuruk. Yoana paling dekat dengan Sophie, dibanding dua kakak laki-lakinya. Bagi Yoana, Yulian dan Bagaskara bagaikan ajudannya. Ya, mungkin karena mereka berdua kakak laki-laki yang bersikap protektif menjaga dirinya. overprotektif tepatnya, menurut Yoana.

Ketukan suara pintu kamar selalu diabaikan oleh Yoana, palingan yang mengetuk juga akan masuk dengan sendirinya karena lelah tidak dibukakan. "De, kamu mau sampai kapan selalu mengurung diri seperti ini. Mba tahu kamu syok karena melihatnya. Tapi cukup deh, kejadian itu sudah lewat. Dan gak ada kaitannya dengan kamu.” Ucap Sophie lirih, mengelus puncak kepala Yoana yang terbaring miring di kasur.

“…”

“Besok sudah mulai masuk sekolah kan? kamu harus sehat yah. Jangan lupa makan juga.”

“…”

Karena Sophie merasa Yoana tidak ingin diganggu, maka ia mengangkat tangannya dari kepala Yoana. Hendak berbalik arah keluar dari kamar Yoana, seketika Yoana berbalik dan menahan tangan Sophie.

“Aku ada kaitannya, Mba,” “aku melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang diperbuat oleh Tigor kepada gadis itu, sebelum akhirnya gadis itu mengakhiri hidupnya. Aa…kku… merasa menyesal tidak menolongnya segera, mba.”

Perkataan Yoana barusan membuat Sophie tegang, dirinya tidak menyangka jika adik kecilnya harus menanggung penyesalan seperti ini. Penyesalan yang bukan karena perbuatannya. Dengan sigap Sophie menarik tubuh Yoana, memeluknya erat, membiarkan Yoana melepaskan sesak di dadanya. Sophie harus memberitahukan hal ini juga ke Yulian dan Bagaskara, juga pihak sekolah. 

***

Sepekan kemudian Yoana tidak pernah merasa lebih baik lagi, setelah kejadian yang membuat dirinya menyesal, sangat menyesal. Suri, Ucup, Noni, bahkan Manuel mengatakan bagaimana mereka merindukan kehadiran Yoana di sekolah. 

“Seumur-umur baru kali ini gue ngerasain rindu juga ke elu, Yoan.” Ujar Manuel, tapi dia tidak menampakkan dirinya. Hanya suaranya saja yang terdengar oleh Yoana, karena ternyata Manuel sebenarnya merasa malu. Gengsi lebih tepatnya menyatakan hal seperti itu kepada Yoana.

“Eh, kami nambah satu anggota baru lagi lho di sini.” Ucap Suri, diikuti suara cekikikannya yang fenomenal. Membuat Yoana harus menutup telinganya.

Yoana jelas saja binggung, siapa gerangan yang dimaksud oleh Suri. Baru mau ditanya balik, Ucup sudah memanggilnya.

“Kenalin Yoan, ini Tigor. Minggu lalu dia tewas disini, jadi resmi deh sekarang kita nambah anggota baru.” 

Yoana melotot, membiarkan mulutnya terbuka lebar. Demi apa, dari semua hantu yang ada di dunia, sungguh dia tidak mengharapkan Tigor salah satunya. Terlebih lagi, dirinya merasa ilfil dengan perbuatan yang sudah Tigor lakukan. Tapi bukan dia sendiri yang menuliskan takdir, kan?

*Tamat*

Comments

  1. Emm, suka banget sama ceritanya. Runtut dan tidak membosankan

    ReplyDelete
  2. Emm, suka banget sama ceritanya. Runtut dan tidak membosankan

    ReplyDelete

Post a Comment