Ruwatan dan Perayaan Masa Depan

      Genta memandang jauh pebukitan dari jendela besar rumahnya. Yah, rumah semasa kecilnya bersama bapak, ibu dan dua orang kakak laki-lakinya. Banyak kisah dan cerita yang dia rasa sewaktu bapak masih ada. Bapaknya hanyalah seorang petani kentang yang berpendidikan sekolah dasar, namun bapak mengajarinya bagaimana untuk dapat hidup selayaknya dan tidak menjadi seperti bapaknya yang hanya seorang petani. Harapan besar bagi setiap orangtua pada umumnya, menginginkan anak-anaknya dapat menempuh sekolah tinggi dan menjadi sukses ketika besar nanti.

Tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya, Genta selalu pulang ke Desa Karang Tengah, Banjarnegara. Karena ingin selalu mengenang masa kecilnya ketika dia pernah menjadi dari sebagian ‘anak berambut gimbal’. Yah, tahun ini Dieng Culture Festival kembali digelar. 

***

“Aki ... Aki, ayo ceritakan lagi tentang Kiai Tumenggung Kolodete," ujar seorang anak laki-laki yang tampak ‘asing’ sendiri dibanding anak-anak seusianya.

Seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam, duduk bersila, mulutnya tak berhenti mengumamkan kalimat yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengerti. Senyumnya tak lepas saat bocah kecil yang juga duduk bersila dihadapannya, tak henti-henti merengek, ingin mendengar cerita darinya. 

Sebuah kisah kepercayaan penduduk setempat dahulu mengenai ‘anak berambut gimbal’ yang sejatinya adalah titisan Kiai Kolodete, leluhur masyarakat Wonosobo. Dalam menjalankan tugasnya kala itu, Kiai Kolodete merasa kerepotan karena memikul beban rambut gimbal yang memenuhi atas kepalanya. Karena itu, Kiai Kolodete kemudian memutuskan untuk menitipkan rambut gimbalnya itu ke anak turunannya hingga sekarang. Namun kisah itu sekarang sudah berbeda, layaknya makanan yang akan bertambah cita rasanya ketika ditambah ‘bumbu penyedap’ ke dalamnya. Para ‘anak berambut gimbal’ kini diyakini telah ditunggui oleh makhluk halus yang kerap membuat si anak selalu dalam keadaan tidak dapat dikendalikan. Sering merenggek, meronta, menendang memukul orang disekitarnya bila keinginannya tidak dipenuhi. Bahkan sampai dapat melukai dirinya sendiri.

Hingga akhirnya para ‘anak berambut gimbal’ ini harus melewati prosesi ritual ruwatan. Mengusir roh jahat yang bersemayam ditubuh sang anak, sehingga akan kembali sehat dan selamat dalam menjalani kehidupannya di masa yang akan datang.

“Cukup untuk hari ini, kau bisa datang besok. Kasihan bapak dan mas-mu selalu mencari keberadaanmu.”

“Mereka bisa menemukanku di sini. Lagipula kalau di rumah tidak ada yang mau berteman denganku. Aku ini anak pembawa sial bagi mereka.” Bocah laki-laki itu merengut, memeluk dirinya sendiri mencari kehangatan. Memang di waktu senja seperti ini udaranya akan bertambah sejuk terutama bila malam menjelang.

“Kamu itu istimewa! Makanya mereka semua iri kepadamu.” Ucapan si Aki cukup meredakan amarah si Bocah.

***

Diterangi lampu petromak seadanya satu keluarga itu berkumpul, berdekatan setelah menyantap makanan mereka. Cuaca memang sedang tidak bersahabat hari ini, hujan turun semakin deras. Beberapa petani mulai khawatir akan lahan pertanian mereka yang akan terendam air.

“Nak, Bapak kan sudah berkali-kali bilang jangan sering-sering main ketempat Aki, bahaya! Kamu itu masih kecil, mending di rumah main dengan anak seusiamu.” Meskipun raut wajah sang Bapak tampang tenang saat bicara, tetap saja si anak yang dimaksud tahu betapa murkanya sang Bapak.

Setelah puas mendengar kisah tentang Kiai Tumenggung Kolodete dari Aki, dirinya baru pulang. Bersamaan dengan turunnya hujan yang sangat lebat hingga menghalangi perjalanan pulang ke desanya. Ya, rumah Aki berada di atas bukit jauh dari desa kecil tempat tinggalnya. Melewati rintangan bukit bebatuan yang terjal sudah biasa baginya, namun nasib sepertinya tidak berpihak baik baginya tadi. 

“Bapak betul, dek. Mas saja kesulitan nyebrangi sungai sewaktu hujan turun tadi. Takut nanti Mas mati kebawa arus, terus dimakan hewan buas.” Sambung Kirman si sulung.

“Ya sudahlah! Jangan diributkan lagi, lebih baik istirahat saja sudah hampir malam.” Satu-satunya wanita dalam rumah itu mencoba menengahi, sebelum anaknya yang paling bontot akan kembali menangis meronta karena tidak merasa nyaman dibicarakan terus. “Tejo, bantu Mas-mu nanti lihatin kandang ayam. Khawatir ayam-ayam kita akan menghilang lagi.”

“Ya buk. Paling yang ngambil ayam itu makhluk yang bersemayam di dalam tubuhnya Genta.” Sahut Tejo asal.

“Awas mulutmu itu yo! Gak segan Bapak ketok pake alu nanti. Jangan asal bicara, adikmu itu gak seperti apa yang dibilang orang-orang. Adikmu itu istimewa! Harusnya kamu jaga adikmu kalau gak mau kehilangan nyawamu!”

Si ibu kembali meredakan amarah suaminya, ya memang Tejo putra keduanya suka asal ketika bicara. Tidak seperti Kirman yang lebih tenang pembawaannya, ataupun si bungsu Genta.

***

“Pagi ini kamu ikut ibuk ya, nak.”

“Memang kita mau pergi ke mana buk?"

“Nanti kamu juga tau. Ibuk selesain kerjaan dulu di dapur, baru kita berangkat.”

“Bapak ikut juga?”

Sang Ibuk yang masih melipat baju-baju hanya mengeleng.

“Mas Kirman, Mas Tejo ikut juga Buk?”

Setelah menyimpan baju yang sudah terlipat di atas meja, ibu berjalan mendekati si bungsu yang masih merebahkan tubuh kecilnya di atas dipan bambu yang sudah usang. “Hanya kita saja berdua, Nak. Jaraknya gak jauh dari rumah, ibuk sudah ijin sama bapak semalam. Moga-moga cuacanya bagus hari ini."

“Yok, siap-siap. Ibuk tinggal sebentar ke dapur.”

Si bungsu dengan segera mengangkat tubuhnya, bersandar ke tiang penyangga rumahnya. Pikirannya masih menerawang, memikirkan ke mana dirinya dan ibu akan pergi. Semalam saat dia tidur sayup-sayup mendengar Kedua orang tuanya berbicara tentang ruwatan, Mas Kirman juga bicara banyak sependengarannya, sebelum akhirnya kantuk mulai menguasai dirinya.

“Ruwatan…” Gumanmya. “Apa itu seperti yang Aki sering ceritakan?”

***

Genta duduk di samping ibunya yang terus saja mengusap lembut dan merapihkan rambut-rambut gimbalnya yang semakin panjang. Hampir semua rambut di kepalanya berbentuk gimbal. 

Dari penuturan ibu, sewaktu bayi dirinya terlahir normal seperti bayi-bayi lainnya. Namun masuk usia setahun dirinya sakit demam, lalu kemudian munculah cikal bakal rambut gimbal itu. Seiring bertambah usianya, sering pula dirinya selalu jatuh sakit. Hingga sekarang kumpulan rambut di kepalanya penuh berbentuk gimbal.

Di hadapan mereka sekarang ini ada wanita yang sudah sangat tua sekali, rambut putihnya hampir menutupi seluruh tubuhnya yang kurus dan kecil. Aroma dan asap kemenyan mengepul memenuhi ruangan yang mereka singahi. Tak ada benda atau perabot yang menunjukkan kalau ini adalah sebuah tempat tinggal pada umumnya. Yang ada hanyalah barisan tenggorak manusia, entah itu asli atau tidak. Genta tidak mau memikirkan jauh tentang hal itu, melihatnya saja sudah cukup membuatnya takut.

Mungkin karena itu, ibu terus-terus mengusap lembut kepalanya. Untuk membuat dirinya merasa tenang, aman dan nyaman.

“Sudah berapa lama anakmu seperti itu?” Akhirnya nini itu bersuara. Genta sempat berpikir sebelumnya, jika nini ini bisu.

“Sejak kecil, Ni. Pernah sakit sebelumnya, dan sering sekali akhirnya. Kemudian lambat laun munculah ini semua.” Jawab sang ibu sambil mengangkat satu jalinan gimbal dari kepala si bungsu.

Tak ada jawaban, hanya kepulan asap yang semakin menggaburkan pandangan. Hingga membuat mata, hidung sedikit perih. Sebuah kalung berbandul kain hitam yang dilemparkan si Nini, jatuh tepat di pangkuan Genta. “Pakailah itu untuk sementara. Akan ku carikan hari yang tepat dan orang yang tepat untuk dapat menjalankan ritual ruwatan.

“Datanglah kembali saat kau merasa sudah siap dengan apa yang diminta oleh anak itu.”

Tak ada balasan dari sang ibu, hanya bungkukan salam sebagai tanda terima kasih. Setelah mengalungkan pemberian dari wanita tua itu, keduanya bergegas pulang. Berharap keadaan akan kembali normal. Dan dirinya bersama sang suami dapat memenuhi permintaan dari si bungsu.

***

Genta menghabiskan waktu siangnya bermain tidak jauh dari rumah, biasanya dia pergi ke rumah Aki. Tapi karena bapak sudah melarangnya keras, dan dia tidak ingin menjadi anak durhaka, Genta akhirnya menurut.

D isinilah dia sekarang di atas batu hitam besar, di pinggir sungai. Menatap riak-riak air yang mengalir jernih menuju ke tepi. Genta pernah berharap dia tidak dilahirkan di desa kecil ini, dan menjadi dirinya sekarang. Genta sering melihat beberapa anak-anak seusianya dari desa seberang memakai seragam sekolah, walaupun bertelanjang kaki tapi setidaknya mereka mendapatkan ilmu baru setiap harinya.

“Bagaimana rasanya seragam sekolah itu? Apakah bahannya halus atau sekasar bahan yang kupakai sekarang ini? Sedikit mengecil, koyak di beberapa titik dan warnanya pun sudah memudar."

“Apa yang mereka pelajari di sekolah? Apa mereka diajari bertanam juga seperti Bapak, atau berternak ayam dan sapi seperti Mas Kirman dan Mas Tejo. Kalau seperti itu, aku tidak perlu bersekolah. Bapak dan Mas pasti bisa mengajariku.”

Lamunannya terhempas ke langit, bersamaan dengan sebuah batu yang tepat mengenai kepalanya. Genta merasa kaget, panik, dengan segera berdiri dari duduknya dan memutar badannya ke segala arah, mencari biang keladi yang menimpuknya.

“Hei, Aku di atas sini. Ku timpuk kamu dengan batu, karena kamu gak dengar sewaktu ku panggil.” 

Genta menyampingkan tubuhnya, sedikit mendonggakkan kepalanya, mencari sumber suara. “Sedang apa kau diatas sana?” Ujar Genta lantang. Satu yang menarik perhatian Genta, bocah laki-laki yang mungkin di atas usianya itu memakai seragam sekolah. Dengan cepat Genta melompat dari atas batu, dan segera menyusul ketempat bocah laki-laki itu duduk.

“Wuah, kau ini manusia atau keturunan monyet? Cepat sekali memanjat pohon ini. Aku saja masih harus hati-hati, lagipula pohon ini banyak semut besarnya. Mereka mengigit.”

“Itu karena kamu menganggu tempat mereka. Minggir, aku mau duduk.”

Mereka saling berdiam untuk sementara, masing-masing punya pemikiran yang berbeda. Akhirnya bocah laki-laki itu kembali memulai percakapan.

“Kau sering kesini? Kenapa tidak bersekolah? Rambutmu kenapa?”

Terlalu banyak pertanyaan pikir Genta, tapi Genta pun punya pertanyaan untuknya. "Kau sendiri? Kenapa tidak bersekolah? Rambutku gimbal sejak aku sakit.”

Jawaban Genta semakin membuat bocah itu penasaran, “Masa habis sakit tumbuh itu?” Tunjuknya ke rambut gimbal Genta.

Genta menaikkan bahunya, antara bingung dan tidak tahu jawaban sebenarnya. Hanya itu saja yang dirinya tahu, rambut-rambut ini muncul setelah dirinya demam. Menurut sumber yang sangat dia percayai, ibunya.

“Oh,…” 

“Apa yang kamu lakukan di atas pohon ini? Aku tidak pernah melihatmu di desa ini?” Tanya Genta penasaran, dan jemarinya mengelus bahan seragam yang dipakai bocah itu. “Halus”

“Apa?”

“Seragam ini halus, ku kira bahannya sama dengan yang ku pakai.” Genta mengusap ke bahan pakaian yang sedang dipakainya.

Mereka akhirnya tertawa bersama seakan apa yang dilakukan Genta tadi adalah lelucon terlucu, sepercakapan mereka. Mereka mulai terlihat akrab, bocah itu menjelaskan tentang apa itu sekolah, apa yang dipelajarinya disekolah. Begitupun dengan Genta menceritakan tentang kisah Ki Tumenggung Kolodete, kisah yang selalu dirinya senangi, terutama bila Aki yang menceritakannya.

       Sore menjelang masing-masing mereka berpamitan untuk pulang, dan berjanji akan berjumpa lagi esok hari.

***

Berlari penuh semangat dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya, Genta akhirnya mengetahui apa yang dia inginkan. Dengan nafas tersenggal-senggal Genta menghampiri sang Bapak yang masih berada diladang, sedang memasukkan hasil panennya kedalam karung-karung besar dibantu kedua Mas-nya.

“Tumbenan bocah ini mau bantuin kita, pasti ada maunya yah?” Tejo, mas nomor duanya menyapanya seperti biasa, khas Mas Tejo. Berguyon.

Karepmu. Aku mau ngomongnya sama Bapak, bukan ke Mas.”

Ealah, bocah ini. Kalau ada apa-apa juga ujungnya Mas-mu ini yang ngeladenin.” Jawab Tejo sambil berlalu, mengeret karung berisi kentang didalamnya.

“Pak, aku mau sekolah sampai tinggi.”

Ucapan si Bungsu membuat sang Bapak melepas karung yang berisikan kentang begitu saja, dan memeluk si bungsu dengan erat. “Bapak penuhi, Bapak sanggupi permintaanmu. Kita pulang sekarang temui ibuk di rumah.”

Namun tampaknya lepasan karung yang sudah rapih berisikan kentang tadi kembali berantakan. Tejo yang baru saja balik dengan tangan kosong, merasa kesal. Karena harus menambah kerjaannya memunguti kentang-kentang yang mengelinding ke segala arah. Berantakan.

“Loh Bapak mana? Koq kamu bisa sampe gak bener begini kerjanya. Kentangnya jadi tambah kesana kemari, Jo, Tejo. Kuwi toh lagi mikiri opo sih?” Kirman mendengus kesal, melihat ulah Tejo. Tejo hanya menarik nafas panjang, tidak menjawab.

***

Hari yang dinanti telah tiba, arak-arakan Genta memasuki area Darmasala. Mengenakan pakaian adat berwarna putih dan ikat kepala berwarna serupa, di bawah payung berwarna emas. Penampilan Genta bak Raja hari ini. Setelah sebelumnya saat diarak Genta menaiki kuda hitam dengan gagah.

  Pemangku adat sudah siap menjalankan ritual ruwatan ‘anak berambut gimbal’, setelah membacakan doa dan mengasapi dirinya dengan asap kemenyan, rambut gimbal milik Genta dipotong, dimasukkan ke dalam air bunga yang telah dibacakan doa sebelumnya. Pemangku adat menabur beras kuning dan melarungkan rambut gimbal milik Genta ke Pantai Selatan. Dengan harapan Genta akan kembali sehat dan selamat dalam menjalani kehidupannya di masa yang akan datang.

***

“Sudah hampir sore, jendelanya ditutup saja. Ibuk gak kuat udara dingin sekarang.” Suara sang ibu menariknya kembali ke masa sekarang. Mengembangkan senyum, Genta dewasa menutup jendela. Mendekati sang ibu, memeluknya erat.

“Terima kasih Buk, sudah memberi kepercayaan kepada Genta.”

“Kamu ngomongin apa sih? Mendadak seperti ini. Apa ada masalah?”

Genta mengajak sang ibu duduk bersama di kursi. Rumah ini sudah banyak berubah, banyak perabot terisi sekarang tidak seperti dulu. Lantainya pun beralas semen, bukan tanah lagi. Setidaknya rumah ini bisa menghangatkan Ibu dan Bapak ketika masih hidup. 

“Gak ada masalah, Buk. Genta hanya teringat kenangan masa kecil dulu, itu saja.” 

Ya kenangan itu masih di bawanya, kenangan perayaan dirinya menuju masa sekarang. Masa depan yang dulu dirinya mimpikan.

***

Comments