Matahariku Part 3

tulisan ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya; Matahariku dan Matahariku Part 2. Selamat membaca!

Suara ketukan di pintu kamar membangunkanku, sejenak aku mengalami disorientasi waktu dan tempat. Setelah tersadarkan baru aku bangkit dan membuka pintu kamarku.

"Sudah siang! Bi Anum sudah selesai masak, beliau memintaku membangunkanmu." perintah seseorang yang berdiri menjulang di hadapanku. Aku tahu ini sudah siang, karena tadi pagi setalah sarapan aku kembali memasuki alam mimpiku. Tapi siapa orang ini yang berani memerintah diriku.

Aku mengejapkan kedua mataku berulang-ulang, karena aku yakin itu bukanlah Papa dan aku tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Dengan sigap kututup kembali pintu kamarku dan berlari menuju kamar mandi untuk membasuh wajahku, dan kubuka kembali pintu kamarku.

"Maaf, aku hanya belum terbiasa ada orang lain dalam rumah ini selain Bi Anum." ujarku sambil lalu melewati Kak Azis yang masih diam berdiri di depan kamarku.

"Seharusnya aku rekam wajah bangun tidurmu tadi, bercak liurmu masih tertinggal di ujung bibirmu," bisiknya seraya mendahuluiku dengan berlari kecil menuruni anak tangga. 

What?! Kan apa kubilang! Kenapa selalu hal bodoh yang muncul ketika berhadapan dengannya. Aku urung melangkahkan kakiku menuruni anak tangga. Antara malu, gengsi dan lapar. Aroma sup ayam buatan Bi Anum mulai memenuhi seluruh ruangan di dalam rumah ini.

"Nak Flo, kalau dirimu belum juga turun untuk makan siang, Bibi akan menelpon Papamu dan mengatakan dirimu bolos hari ini."

Ancaman Bi Anum mengalahkan rasa malu dan gengsiku, berlari kecil namun tetap berhati-hati aku menuruni anak tangga dan menemui Bi Anum di dapur. Kupeluk langsung Bi Anum dengan serangkai rayuanku kepadanya.

"Duh, Bi Anum gak boleh teriak sampai mengancam aku kayak gitu dong. Nanti kalau aku aduin ke Papa bilang Bi Anum ngancam aku, bisa-bisa nanti gak ada lagi yang masakin aku sup ayam," 

"Yang sedang mengancam siapa sebenarnya?" jawab Bi Anum seraya mengetuk kepalaku dengan sendok sayur. "Bibi ketok lagi nanti sama ulekan kepalanya supaya balik normal lagi, mau?" Oke, lihat siapa yang sedang mengancam sekarang. Tanpa diperintah aku langsung mundur satu langkah menjauhi Bi Anum, sebelum semua peralatan di dalam dapur pindah tempat ke kepalaku.

Dengan senyum kebanggaan aku memohon, "Bi Anum tuh cantik, kalau marah-marah terus nanti malah nambah kerutan di sekitar matanya lho." 

Bi Anum malah tertawa, sebuah tawa yang membuat seluruh tubuhnya pun ikut bergetar. "Sudah cukup dengan semua kekonyolanmu itu, Bibi gak tahu dari siapa sifat itu menurun. Sekarang makanlah, Bibi juga mau memberikan ini ke Azis."

Eh iya, aku lupa dengan sosok lelaki itu. Yang selalu membuatku tampil bodoh di hadapannya. Aku hanya mengangguk, dan segera menikmati hidangan makan siangku sendirian. Ya sendirian di rumah yang besar dan seluas ini. 

Terkadang aku merasa miris sendiri, pernah aku protes mengenai hal ini ke Papa. Jawaban Papa terlalu klise, "kalau Papa gak kerja dapat uang dari mana buat beli tumpukan buku bacaanmu itu." Ketika kuberi saran untuk menjual rumah ini dan membeli rumah kecil yang sederhana, jawaban Papa lebih menohok hati. "Rumah ini penuh dengan kenangan, kenangan kamu ketika masih kecil dan juga kenangan Mamamu. Semua kenangan itu tidak dapat terbayarkan dengan uang."

Selesai makan siang, aku kembali ke kamar untuk mandi. Iya aku memang malas terkena air jika sedang berada di rumah, penyakitku yang lainnya.Tapi kali ini karena ada Kak Azis setidaknya aku harus berpenampilan baik, rapi dan wangi. Meski tak mandi pun aku tetap merasa wangi lho. 

Kuhabiskan waktu soreku di teras belakang, setelah ku ketahui kalau Kak Azis telah selesai berbenah di teras belakang. Iya, aku memang mencoba menghindari keberadaannya. Ada satu hal yang mengusikku di taman, kuperhatikan semakin banyak lagi bunga matahari yang tumbuh bermekaran. Tentu saja hal ini mengingatkanku kepada Mama. 

"Kenapa rumah ini dominan dengan bunga matahari?" suara tanya itu sedikit mengejutkanku.

Tanpa menoleh keberadaannya, aku menjawab. "Mereka semua bunga favorit Mama."

"Oh, pantas."

"Pantas kenapa?" giliranku yang bertanya seraya memalingkan wajahku menatapnya. Siluet Kak Azis sedikit gelap karena terhalang sinar di belakangnya.

"Ya, mungkin kau sudah tahu. Jika bunga matahari selalu tumbuh menghadap ke arah matahari. Aku dapat membayangkan matahari itu adalah Pak Danta, dan bunga matahari itu adalah Bu Sonya."

"Begitukah?"

"Ya seperti itu, dan mungkin kau ini adalah perumpamaan hamanya." jawabnya seraya tertawa kecil dengan leluconnya sendiri.

"Ha ha ha ... Anda sangat lucu sekali. Mengapa tidak mencoba mendaftar sebagai komikus saja," celetukku.

Kak Azis kini bergeser dari tempatnya berdiri dan duduk di anak tangga tak jauh dari aku yang sedang merebahkan diri di atas bale bambu. "Sudah mencoba, dan tidak lolos seleksi." jawabnya tenang.

Kemudian dengan santainya dia menceritakan kisah perjalanan hidupnya, yang kuakui sangat mengisnpirasi. Pengorbanan ayahnya yang bekerja hanya sebagai tukang bersih-bersih dan perawat tanaman hingga dapat menghidupi dan menyekolahkan kedua anak lelakinya. Untungnya posisi Kak Azis sedang membelakangiku, jika tidak mungkin dirinya akan meledeki aku anak cengeng. Ya aku gampang sekali terbawa larut dalam sebuah cerita sedih, sering kali kudapati diriku menangis sesegukan karena novel yang kubaca. Bukan berarti aku ini anak yang cengeng, bukan. Baiklah, ini hanyalah penyangkalanku saja kok. 

Aku terpesona, dan menganggap dirinya sebagai matahariku. Seperti yang dikatakan sebelum olehnya mengenai Mama dan Papaku. Tapi aku tak berani mengungkapkan kepadanya.


*selesai*





Comments